Jakarta, Indonesiawatch.id – Lembaga Survei Indonesia bekerjasama dengan beberapa organisasi menggelar diskusi publik pada 26 februari 2025 di Aryaduta Suites Semanggi. Narasumber dalam diskusi tersebut adalah Yoes Kenawas (LSI) dan Abraham Samad mantan Ketua KPK.
Kegiatan dihadiri oleh sejumlah akademisi, tokoh agama, ormas dan media massa serta perwakilan masyarakat, mengangkat thema Menilai tingkat kepercayaan public terhadap menurunnya kinerja KPK.
Diskusi yang dipandu oleh Gufroni LBH AP PP Muhammadiyah, berjalan sangat dinamis dan memberikan wawasan baru tentang, apa yang sesungguhnya terjadi di KPK.
Forum diskusi publik sebagai upaya mengkritisi KPK, diawali oleh paparan Yoes Kenawas. Ia menjelaskan hasil survei, terkait kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dalam 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto.
Peringkat tertinggi tingkat kepercayaan publik terhadap dipegang oleh Kejagung 77%. Disusul kemudian pengadilan 73%, KPK 72%, dan terakhir Polri 71%.
Sementara dalam pemberantasan korupsi, tingkat kepercayaan publik, menempatkan KPK pada posisi ketiga 69%.
Yoes mengatakan terpuruknya tingkat kepercayaan publik terhadap KPK, disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya revisi UU KPK yang memangkas kewenangan KPK dan aspek kepemimpinan.
Pada kesempatan yang sama Abraham Samad selaku narasumber, menjelaskan latar belakang melemahnya kinerja KPK, berawal dari revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR-RI dan mendapat dukungan Jokowi yang saat itu sebagai Presiden.
DPR yang sejatinya adalah wakil rakyat, tapi justru “membunuh pembela rakyat”. Revisi UU KPK yang akhirnya mendapat persetujuan DPR, menjadi musibah besar terhadap pemberantasan korupsi, karena tereduksi kewenangan KPK sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut serta lain terpilihnya pimpinan KPK yang diorder penguasa.
Di sisi lain terjadi perubahan besar internal KPK, akibat tersingkirnya 21 anggota KPK yang memiliki integritas serta hilangnya status KPK yang independen, karena anggota KPK menjadi ASN.
Abraham Samad menambahkan, tahun 2019 menjadi titik balik potret pemberantasan korupsi kembali buram. Sementara korupsi terus dieksploitasi menjadi alat politik, untuk menyandera pihak-pihak yang dipandang berseberangan.
Korupsi juga telah dijadikan modal politik untuk memenangkan perebutan kekuasaan. KPK telah dijadikan pasar gelap perdagangan kasus korupsi. Terjadi tawar menawar soal siapa yang harus dijerat hukum, semua berdasarkan pesanan penguasa. KPK tidak lebih dari usaha catering, menyiapkan masakan sesuai pesanan.
Diskusi publik dengan tema sentral soal kinerja KPK, telah memberikan gambaran komprehensif, tentang kondisi aktual KPK sebagai lembaga anti rasuah yang hanya menjadi “tukang begal hukum” untuk kepentingan penguasa.
Sehingga cukup beralasan jika muncul kritik radikal, perlu dipertimbangkan untuk membubarkan KPK, daripada KPK dijadikan alat oleh penguasa untuk menyandera lawan politiknya, hal ini tidak saja melemahkan kegiatan pemberantasan korupsi, tapi juga berdampak terhadap iklim demokrasi.
[red]







