Jakarta, Indonesiawatch.id – Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan korupsi pengadaan aplikasi sistem administrasi pajak Coretax senilai lebih dari Rp1,3 triliun.
Ketua Umum (Ketum) IWPI, Rinto Setiyawan di Jakarta, Jumat, (24/1), mengatakan, pihaknya telah melaporkan dugaan korupsi pengadaan Coretax pada DJP tersebut ke KPK pada Kamis, (23/1).
Baca juga:
Waspada! Sri Mulyani Ungkap 2024 Tahun yang Berat, Mulai dari Pajak hingga Perang Dagang
“Kami telah melaporkan tentang kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek pengadaan Coretax, sistem yang memakan anggaran Rp1,3 triliun lebih,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, IWPI melaporkan Dirjen Pajak kepada lembaga atirasuah soal dugaan korupsi megaproyek Coretax tersebut.
“Yang kita laporkan sekarang ini adalah Dirjen Pajak,” ucapnya.
Ia menjelaskan, pihaknya telah menyerahkan sejumlah bukti dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Coretax pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tahun anggaran 2020–2024 tersebut.
“Kami menyerahkan laporan 1 bundel terkait dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan aplikasi Coretax,” katanya.
Rinto mengungkapkan, pihaknya sebenarnya telah menyiapkan 4 alat bukti. Pertama, dokumen di antaranya surat, pengumuman tender, dan Keputusan Dirjen Pajak.
Kedua, lanjut dia, adalah bukti petunjuk. Ini merupakan bukti-bukti pemberitaan berbagai media massa, termasuk daring terkait berbagai permalahan aplikasi Coretax.
“Hasil-hasil capture tangkapan layar aplikasi coretax error dan kendala- kendala terkait penggunaan aplikasi coretax yang telah dilaporkan oleh wajib pajak yang kepada IWPI” ujarnya.
Adapun dua bukti ketiga dan keempat yang telah dipersiapkan IWPI, adalah saksi dan juga ahli jika KPK memerlukannya. “Jadi sebenarnya sudah ada empat alat bukti dan bisa digunakan,” ucapnya.
Soal indikasi dugaan korupsi dalam megaproyek Coretax ini, Rinto mengatakan, tidak berfungsinya berbagai fitur dalam aplikasi senai lebih Rp1,3 triliun yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo pada 31 Desember 2024 dan mulai digunakan pada 1 Januari 2025 tersebut.
“Sampai saat ini banyak anggota kami dari IWPI, dari wajib pajak di seluruh Indonesia masih menemukan banyaknya mal fungsi aplikasi Coretax ini,” tandasnya.
Persoalan ini kian bertambah setelah Dirjen Pajak menerbitkan Keputusan Nomor 24 Tahun 2025 menyatakan bahwa aplikasi Coretax ini bermasalah.
“Untuk 790 ribu pajak-pajak tertentu itu boleh menggunakan aplikasi yang lama,” katanya.
IWPI menilai kebijakan tersebut sangat janggal karena katanya Coretax ini sangat canggih dan biayanya sanga mahal. Terlebih, wajib pajak besar malah justru diperbolehkan ke sistem pajak lama.
Harusnya dibalik, kalau Coretax ini canggih, maka yang 790 ribu ini harusnya memakai Coretax, sedangkan wajib pajak yang dianggap kecil-kecil ini pakai aplikasi yang lama.
Praktisi Hukum Pajak, Dr Alessandro Rey, menilai bahwa anggaran Coretax ini sangat fantastis, yakni Rp1,3 triliun dan aplikasi ini diluncurkan untuk mencapai target penerimaan pajak.
Faktanya, Coretax yang memakan nilai yang sangat besar itu tidak bisa digunakan secara maksimal. Ada potensi malfunction, baik itu partially malfunction atau completely malfunction.
“Banyak fitur-fitur yang sampai dengan sekarang dikeluhkan oleh wajib pajak,” katanya.
Contoh persoalan Coretax lainnya, yakni kendala login dan penggunaan sertel untuk menerbitkan faktur pajak. Ini merugikan wajib pajak. Pasalnya, ketika faktur pajak tidak bisa diterbitkan maka tidak bisa dilaksanakan kegiatan bisnis.
“Tidak ada proses transaksi yang bisa dilakukan, maka itu menghambat pertumbuhan ekonomi dan juga kegiatan bisnis,” tandasnya.
Ini akan merugikan wajib pajak dan mereka terancam sanksi karena tidak menerbitkan faktur pajak sebagaimana mestinya. Saksi ini sangat merugikan wajib pajak, sementara aturan penghapusan sanski ini juga belum ada dari DJP.
“Mega proyek Rp1,3 triliun ini kan harusnya tidak kemudian menimbulkan kendala seperti ini. Aplikasi semahal ini justru sebaliknya, belum bisa membantu wajib pajak. Berarti ada dugaan tindak tindak korupsi di sini,” tandasnya.
Rey mengungkapkan, penggunaan Coretax ini berpotensi menimbulkan pidana pajak karena ada kebocoran data wajib pajak yang kemudian bisa dilihat oleh wajib pajak lain, kemudian juga bisa disalahgunakan oleh wajib pajak lain tersebut.
“Itu berkaitan dengan pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur di Pasal 34 Ayat (1) juncto Pasal 41 Ayat (1) Undang-Undang KUP,” ujarnya.
Berbagai persoalan aplikasi pajak Coretax ini juga mengancam perekonomian, kalau penegak hukum tidak mengusutnya. Ada sekitar 70 juta Wajib Pajak yang harus menggunakan Coretax untuk melaporkan pajak tahunan.
Terkait laporan tersebut, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, menyampaikan, KPK akan menindaklanjutinya sesuai dengan prosedur yang berlaku.
“Nanti kan dinilai, ditelaah dulu, pulbaket istilahnya. Tapi kan baru dilaporkan, kan butuh proses,” katanya.
[red]







