Jakarta, Indonesiawatch.id – Komis Pemberantasan Korupsi (KPK) belum memasukkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, ke dalam kerangkeng alias sel tahanan.
Usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada Senin, (13/1), Hasto masih belum memakai rompi oranye KPK dan bisa kembali ke bus yang mengantarnya ke lembaga antirasuah.
Baca juga:
Hasto Kristiyanto Minta Simpatisan dan Anggota PDIP Tenang dan Solid
Kuasa hukum tersangka Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail, menyampaikan keterangan terkait pemeriksaan kliennya oleh penyidik KPK.
“Proses pemeriksaan hari ini sudah selesi dilakukan,” kata Maqdir usai mendampingi kliennya menjalani pemeriksaan.
Ia menyampaikan, penyidik KPK memeriksa Hasto Kristianto sebagai tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan (obstruction of justice).
“Kami hanya menyampaikan, Pak Hasto pada hari ini diperiksa untuk perkara suap dan menghalang-halanghi penyidikan,” ujarnya.
Lebih lanjut Maqdir menyampaikan, pihaknya hanya bisa menyampaikan informasi di atas sebagai kesepakatan dengan penyidik KPK.
“Untuk hal-hal yang lain, terutama berkaitan dengan perkara, saya persilakan saudara-saudara kepada penyidik, inilah kesepkatan kami dengan penyidik,” ujarnya.
Sedangkan untuk pemeriksaan selanjutnya, kata Maqdir, tergantung dari kebutuhan penyidik KPK dan Hasto akan mengikutinya.
“Tentu kami akan ikuti sesuai dengan kebutuhan pihak penyidik,” katanya.
KPK menetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto; dan advokat PDIP, Donny Tri Istiqomah, sebagai tersangka. KPK menyampaikan status kedua orang itu pada akhir tahun 2024.
KPK menetapkan Hasto Kristiyanto dan Donny Tri dalam kasus suap kepada Wahyu Setiawan selaku salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024.
Suap diberikan agar Harun Masiku ditetapkan menjadi anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas. Padahal, perolehan suaranya hanya 5.878, di bawah perolehan suara Riezky Aprilia, sebanyak 44.402.
Guna menjadikan Harun Masiku menjadi anggota DPR RI, Hasto berupaya mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Agung (MA) pada 24 Juni 2019 dan menandatangani surat pada 5 Agustus 2019 perihal permohonan pelaksanaan putusan uji materi.
KPU tidak mau melaksanakan putusan MA. Atas dasar itu, Hasto meminta fatwa kepada MA. Selain itu, dia juga mengupayakan agar Riezky mengundurkan diri, tetapi dia menolak.
Hasto bahkan menahan surat undangan pelantikan Riezky sebagai anggota DPR. Kemudian Hasto bersama Harun Masiku, Saeful Bahri, dan Donny Tri Istiqomah melakukan penyuapan terhadap Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelia.
Hasto diduga memberikan uang sejumlah 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Amerika Serikat (AS) pada rentang waktu 16-23 Desember 2019.
Selain penyuapan, Hasto diduga melakukan perintangan penyidikan. Pasalnya, dia diduga membocorkan operasi tangkap tangan (OTT) yang akan dilakukan KPK terhadap Harun Masiku pada 2020 silam.
Hasto diduga menyuruh Harun Masiku merendam handphone-nya dan melarikan diri. Selain itu, dia juga diduga menyuruh stafnya di PDIP, Kusnadi, menenggelamkan hanphone-nya.
Selain itu, Hasto juga diduga mengumpulkan sejumlah saksi agar tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. KPK telah memanggil Hasto untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada Senin, (6/1/2024). Namun Hasto meminta pemeriksaannya dijadwal ulang. Ia meminta pemeriksaan dilakukan setelah HUT PDIP 10 Januari 2024.
Untuk dugaan penyuapan, KPK menyangka Hasto melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf B atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan untuk perintangan penyidikan, KPK menyangka Hasto melanggar Pasal 21 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Harun Masiku yang dinyatakan buron sejak 17 Januari 2020 ditetapkan sebagai tersangka karena memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
KPK menyangka Harun Masiku melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
[red]







