Jakarta, Indonesiawatch.id – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan lima orang tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada PT Petro Energy (PT PE).
Dua dari lima orang tersebut adalah direksi LPEI yaitu Dwi Wahyudi (DW) dan Arif Setiawan (AS). Tiga orang lagi berasal dari PT PE, yaitu Jimmy Masrin (JM) pemilik PT PE, Direktur Utama Newin Nugroho (NN) serta Direktur Keuangan Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD).
Modus praktik rasuah yang dilakukan pihak LPEI dan swasta ini adalah dengan memuluskan persetujuan pemberian kredit. Padahal peruntukkan kredit tidak sesuai dengan ajuan semula.
PT PE mendapatkan kredit dari LPEI hampir Rp900 miliar. Termin pertama LPEI memberi persetujuan kredit sebesar Rp297 miliar pada 2 Oktober 2015.
LPEI kembali memberikan fasilitas kredit pada 19 Februari 2016, sebesar Rp400 miliar. “Kemudian di top up lagi di tanggal 14 September 2017, sebesar Rp200 miliar. Jadi total sekitar Rp900 miliar,” ujar Plh. Direktur Penyidikan KPK Budi Sokmo dalam konferensi Pers (03/03).
Agar pemberian kredit mulus, PT PE memberikan “zakat” sebesar 2,5% – 5% kepada pejabat LPEI. Artinya, pihak pejabat LPEI berpotensi mendapat Rp45 miliar, dari satu debitur saja, yaitu PT PE.
“Dari keterangan yang kami peroleh dari para saksi, menyatakan bahwa memang ada namanya uang Zakat, yang diberikan oleh debitur ini kepada direksi yang bertanggungjawab terhadap penandantangan pemberian kredit tersebut, besarannya 2,5 – 5% dari kredit yang diberikan,” katanya.
Temuan tersebut dikuatkan dari hasil investigasi tim penyidik KPK. “Informasi ini didukung juga dari asset tracing yang kita dapatkan, memang menerima zakat, para Direksi LPEI yang memberikan tandatangan terkait dengan pengusulan kredit tersebut,” ujarnya.
Tidak berhenti di PT PE, KPK masih melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap 10 debitur lain, yang diduga culas, seperti PT PE. Artinya, ada total 11 debitur nakal yang lagi digarap KPK. Potensi kerugian negara yang muncul dari laku lancung keseluruhan debitur mencapai Rp11,7 triliun untuk 11 debitur.
“Sejak Maret 2024, KPK melakukan penyelidikan kepada 11 debitur yang diberikan oleh LPEI. Adapun total kredit yang diberikan dan menjadi potensi kerugian negara adalah kurang lebih Rp11,7 triliun,” ujar Budi Sokmo.
Adapun 10 perusahaan lainnya bergerak di berbagai sektor. “Perusahaan tersebut ada di sektor, perkebunan, shipping, di industri terkait energy. Di tiga sektor itu debitur lain,” ujarnya.
Artinya, jika LPEI mematok “zakat” 5% maka, pejabat LPEI bisa meraup setengah triliun Rupiah. Itu baru 11 debitur. Bagaimana dengan “Zakat” dari debitur lain?
[red]







