Jakarta, Indonesiawatch.id – Presiden Prabowo Subianto meminta jajarannya mencarikan solusi agar PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex terselamatkan dan tetap bisa beroperasi. Prabowo juga berharap perusahaan tekstil raksasa itu tidak sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya.
Pasca dikabarkan terlilit utang dan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang, PT Sritex mendapatkan perhatian langsung dari presiden. Prabowo dikabarkan menginstruksikan empat menteri untuk turun tangan menyelamatkan PT Sritex. Mereka adalah Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN dan Menteri Tenaga Kerja.
Diketahui, Sritex memiliki total 50 ribu karyawan. Jumlah itu termasuk dari anak-anak perusahaan dalam grup Sritex. Dari total jumlah karyawan tersebut, ada sekitar 14.112 orang yang bakal terdampak langsung akibat putusan pailit. Namun, Sritex memutuskan masih beroperasi hingga sekarang meski dalam kondisi memprihatinkan.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyatakan, gagasan dari Presiden Prabowo untuk menyelamatkan Sritex patut diapresiasi. Hanya saja, ia berharap penyelamatan tersebut tidak hanya dilakukan pada Sritex tetapi juga industri tekstil lainnya yang terancam pailit.
“Industri tekstil itu masif dan besar, saya kira kalau ingin bantu jangan satu atau dua perusahaan tapi kebijakan yang berlaku untuk seluruh industri tekstil karena yang di-PHK itu udah banyak banget,” kata Tauhid Ahmad kepada Indonesiawatch.id.
Menurutnya, pemerintah harus menyusun skema kebijakan penyelamatan yang dimaksud. Kebijakan yang diberikan tentu bukan mengucurkan stimulus atau uang untuk operasional Sritex. Melainkan melalui kebijakan yang meringankan atau memperluwes usaha.
“Saya setuju apabila bea keluar dan bea masuk benar-benar ditiadakan untuk barang-barang bahan baku dan sebagainya. Kemudian pembebasan pajak sekian tahun juga harus diberlakukan,” ujar Tauhid.
Tauhid berpendapat, pemerintah juga perlu mencari akar masalah atau persoalan yang dihadapi Sritex. Sehingga dapat dilakukan perbaikan ke depannya. “Memang harus diteliti, apakah ada masalah terkait dampak Covid-19, soal market, persoalan tata kelola, moral hazard dan sebagainya. Jangan sampai perusahaan itu tidak efisien atau boros dan sebagainya. Sehingga membuat industri itu akan lemah,” katanya.
Pemerintah, lanjut Tauhid, tidak bisa melakukan intervensi terlalu jauh. Sebab, Sritex adalah perusahaan swasta murni, bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Jadi, modelnya bukan hanya perbankan kasih uang ke mereka untuk restrukturisasi. Tapi harus ada pembinaan, perbaikan sistem manajemen dan sebagainya. Modelnya nanti ada pemilikan saham pemerintah di situ,” pungkasnya.
[red]