Jakarta, Indonesiawatch.id – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada untuk disahkan menjadi undang-undang.
Persetujuan penggodokan revisi UU Pilkada mengabaikan dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dalam UU Pilkada.
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Azeem Marhendra Amedi menyatakan, persetujuan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI atas revisi UU Pilkada yang mengklaim merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pengajuan calon gubernur, bupati, walikota, merupakan bentuk vetokrasi sebagian elit politik yang terlanjur nafsu menguasai seluruh ruang-ruang politik kontestasi Pilkada serentak 2024.
“Vetokrasi dalam konteks revisi UU Pilkada berbentuk kesepakatan elit yang memveto aspirasi publik dan kepemimpinan interpretasi konstitusi, yang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan 60/PUU-XXII/2024 berupaya menyelamatkan demokrasi dari hegemoni dan tirani mayoritas,” kata Azeem Mahendra dalam pernyataan yang diterima Indonesiawatch.id.
Azeem menyebut, bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada. “Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan,” ujar Azeem.
Menurutnya, putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. “Kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU. Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances,” tutur Azeem.
Karena itu, SETARA Institute berpandangan, peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan Putusan MK telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi. “Tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi,” katanya.
Dalam situasi kekacauan hukum ini, konstitusi dan MK tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat. “Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik,” papar Azeem.
[red]