Jakarta, Indonesiawatch.id – Jika penguasa selalu menghalalkan cara apapun untuk mencapai tujuannya, pada akhirnya logika kekuasaan memang soal kepentingan untuk memenuhi hasrat kekuasaan semata. Ungkapan ini adalah visualisasi dan potret kekuasaan politik hari ini.
Politik hanya dijadikan alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan segelintir pihak. Oleh sebab itu pendidikan politik yang dipertontonkan oleh para aktor politik adalah materi pelajaran merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Wajar akhirnya dalam setiap peristiwa politik, selalu diwarnai oleh tragedi berdarah yang mengobankan rakyat dan jatuhnya korban politik.
Mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar, adalah modus pengambilalihan kekuasaan. Sama sekali bukan dilatarbelakangi oleh adanya konflik internal Golkar.
Tapi lebih disebabkan adanya kekuatan kekuasaan yang menghendaki Golkar dijadikan buffer politik. Untuk melanggengkan kekuasaan dan alat bargaining power menghadapi persoalan hukum. Modus politik penyanderaan telah dijadikan alat efektif untuk melengserkan Airlangga dari kursi Ketua Umum Golkar.
Hal ini pun dialami oleh Parpol papan atas lain, untuk bertekuk lutut di hadapan penguasa. Politik penyanderaan merupakan fenomena politik yang memiliki implikasi buruk terhadap pembangunan demokrasi dan penegakan hukum.
Politik penyanderaan dapat dianalogikan sebagai “perangkap tikus” yang membiarkan terjadinya praktik korupsi oleh pejabat negara. Akibatnya praktik politik penyanderaan, telah menimbulkan kerugian negara yang tidak kecil.
Sudah saatnya aktor yang memainkan politik penyanderaan adalah bagian dari tindak pidana, karena membiarkan pelaku tindak pidana dari jeratan hukum.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen