Jakarta, Indonesiawatch.id – Dua aksi damai yang berlangsung di Jakarta pada 27 dan 28 September 2024 diganggu sekelompok orang tidak dikenal secara represif dan intimidatif. Ironisnya, dua kejadian tersebut disaksikan langsung oleh aparat kepolisian yang berjaga.
Serangan pertama terjadi pada aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang dimulai di Taman Menteng pada Jumat siang 27 September 2024. Dalam aksi tersebut hadir sekelompok orang tak dikenal merampas alat-alat peraga aksi, termasuk patung manekin Raja Jawa, poster, banner dan alat pengeras suara milik penyelenggara aksi.
Aksi represif serupa kembali terjadi pada acara diskusi yang digelar oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 28 September 2024. Diskusi tersebut menghadirkan tokoh nasional di antaranya Refly Harun, Abraham Samad, Said Didu, M. Din Syamsuddin, Rizal Fadhilah, dan Sunarko.
Namun, acara tersebut disabotase oleh serangan sekelompok orang tak dikenal yang sebagian besar memakai masker. Mereka menyusup masuk ke ruang pertemuan sambil merusak panggung, menyobek backdrop, dan mematahkan tiang mikrofon.
Pelaku juga melakukan serangan verbal kepada para peserta dan penyelenggara diskusi dengan meneriakkan kata “Bubar!” Tak lama kemudian mereka serempak keluar dari lokasi sambil ditemani sejumlah polisi.
Mirisnya, pihak kepolisian yang berada di dekat lokasi kejadian justru membiarkan insiden ini terjadi. Tidak ada pencegahan dan penangkapan di tempat oleh polisi atas kelompok penyabotase itu. Bahkan ada beberapa polisi berseragam yang terlihat bersalaman dan merangkul perwakilan kelompok tersebut di gerbang hotel paska kejadian.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid turut menanggapi serangan sekelompok orang terhadap aksi damai dan diskusi yang terjadi baru-baru ini. “Sepekan terakhir, masyarakat menyaksikan lagi sikap polisi yang tidak profesional. Kepolisian seperti merestui aksi sekelompok orang yang main hakim sendiri. Dengan cara kekerasan, kelompok itu menyerang unjuk rasa damai dan acara berkumpul yang damai dan sah,” kata Usman.
Selain diskusi yang berlangsung pada 27-28 September 2024, Usman menyinggung di Jawa Tengah terdapat sekelompok yang merusak tanaman milik petani Pundunrejo. “Ini adalah serangan terhadap kebebasan sosial petani. Serangan-serangan itu jelas tidak bisa dibenarkan serta tidak boleh diberi tempat,” ucapnya.
“Justru di saat seperti inilah masyarakat perlu kehadiran aparat keamanan dan juga penegak hukum untuk melindungi mereka dari tindakan main hakim sendiri sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab,” kata Usman.
Ia menyayangkan aparat yang terpantau di lokasi kejadian dan terlihat membiarkan insiden keributan. Hal tersebut, lanjut Usman, sama artinya aparat merestui perbuatan melanggar hukum. “Polisi seharusnya bertugas melindungi warga yang mengekspresikan hak berpendapat-nya secara damai. Sepekan terakhir, mengapa polisi terkesan justru melindungi penyerang? Siapa dalang pelaku penyerangan pertemuan dan ekspresi damai itu?” tuturnya.
Usman menjelaskan, konstitusi dan hukum-hukum lain Indonesia menjamin warganya untuk menikmati hak-hak asasi manusia, baik kebebasan sipil seperti hak berkumpul serta berpendapat, maupun kebebasan sosial seperti bercocok tanam dan menikmati hasilnya.” Itu dijamin pula oleh hukum internasional. Tindakan intimidasi seperti ini tidak boleh dibiarkan begitu saja,” ucapnya.
Amnesty International mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengusut tuntas dalang dan semua pelaku intimidasi maupun aksi main hakim sendiri tersebut. Menurutnya, Kapolri wajib memastikan adanya tindakan hukum yang tegas terutama terhadap otak pelaku aksi main hakim sendiri.
“Usut pula polisi yang bukannya mencegah dan menindak pelaku intimidasi, justru cenderung melakukan pembiaran, malah berangkulan dan berjabat tangan dengan mereka, seperti yang terlihat pada insiden sabotase acara diskusi Forum Tanah Air,” pungkasnya.
Amnesty International Indonesia mencatat bahwa sejak Januari 2019 hingga September 2024 terdapat sedikitnya 255 kasus intimidasi dan serangan fisik atas setidaknya 482 pembela HAM. Mereka terdiri dari aktivis, masyarakat adat, akademisi, dan jurnalis.
[red]