Jakarta, Indonesiawatch.id – Anggota Komisi IX DPR RI Arzeti Bilbina mengungkapkan perlunya edukasi dan sosialisasi yang masif tentang bahaya hubungan seks di usia dini karena menyangkut kesehatan reproduksi remaja. Pasalnya, perempuan usia 15-19 tahun lebih rentan terkena risiko penyakit dan konsekuensi jika melakukan hubungan seksual di usia dini.
Karena itu, pihaknya mendorong digalakkannya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi bagi remaja. “Komisi IX DPR mendorong pemerintah dan masyarakat untuk terus meningkatkan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang aman,” ujar Arzeti Bilbina dalam keterangannya di Jakarta pada Selasa, 13 Agustus 2024.
Arzeti menilai pendidikan kesehatan reproduksi bisa diberikan di lingkungan pendidikan formal. Menurutnya, materi pendidikan kesehatan tersebut disesuaikan dengan usia dan jenjang pendidikan siswa. “Bahkan jika perlu, pendidikan reproduksi semakin dioptimalkan di lingkungan pendidikan formal seperti sekolah. Itu semata agar remaja kita bisa lebih memahami risiko jika melakukan hubungan seksual di usia dini,” kata Arzeti.
Politisi PKB itu menyatakan tren pernikanan dini sejauh ini menurun apabila merujuk pada data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dari semula 40 dari 1.000 perempuan remaja, saat ini perbandingannya hanya 26 dari 1.000 remaja perempuan yang menikah dini.
Namun sayangnya, angka tersebut berbanding terbalik dengan tren hubungan seksual remaja di Indonesia yang menurut data terbaru dari BKKBN meningkat tajam. Tercatat lebih dari 50 persen remaja perempuan yang melakukan hubungan seksual di usia 15 hingga 19 tahun. Sementara pada laki-laki angkanya lebih tinggi yakni di atas 70 persen.
“Sebaiknya tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Selain bertentangan dengan norma dan agama, dampak kesehatannya juga sangat signifikan, terutama bagi perempuan,” ungkap Arzeti.
Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan baru yang perlu segera diatasi. Kampanye no sex sebelum menikah harus semakin digalakkan. Tidak hanya itu, peran sekolah dan tentu saja orang tua dalam memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak harus dimaksimalkan. Karena itu, perlu dilakukan upaya pencegahan yang komprehensif dan berintegrasi untuk menghadapi dan mengurangi dampak negatif dari fenomena tersebut.
Terkait aturan tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 28 tahun 2024 tentang Kesehatan, Arzeti menyebut perlu ada penjelasan secara komprehensif dan clear dari pemerintah agar tidak terjadi salah persepsi di masyarakat. “Setelah itu, perlu dievaluasi juga lewat tanggapan masyarakat serta dampak, juga manfaat dari aturan tersebut. Itu untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut efektif,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengatakan, pelayanan kesehatan reproduksi yang memasukkan unsur penyediaan alat kontrasepsi di PP Kesehatan tidak tepat diterapkan pada anak dan usia remaja di Indonesia. Terlebih hal itu bertabrakan dengan kultur masyarakat Indonesia yang berbudaya dan agamis.
“Pertanyaannya kenapa disediakan alat kontrasepsi itu seolah-olah kesannya membenarkan perilaku seks bebas kepada remaja, kepada pelajar,” ujar Kak Seto dalam keterangannya kepada Indonesiawatch.id.
Hal yang perlu dilakukan, lanjut Kak Seto, yakni mengajarkan anak dan remaja menyalurkan dorongan agresivitas dan naluri alamiahnya secara simbolik dengan sejumlah kegiatan positif. Misalnya di bidang olahraga, kesenian, akademik, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. “Artinya dorongan [hasrat] itu justru tidak bertentangan dengan ajaran agama yang melanggar nilai-nilai normal yang diajarkan,” katanya.
Menurutnya, aspek yang ditekankan dalam PP Kesehatan hanya bersifat kuratif atau pengobatan. Padahal yang lebih penting adalah upaya cegah atau tindakan preventif yang disesuaikan dengan norma-norma yang ada. “Sama saja untuk menjaga kesehatan disediakan obat untuk yang sudah sakit dari narkoba, yang sudah sakit dari merokok. Intinya bukan memadamkan kebakaran tetapi mencegah supaya tidak terjadi kebakaran”.
Kak Seto menjelaskan hal yang terpenting dilakukan pemerintah adalah menggalakkan kampanye dan sosialisasi. “Yang dibutuhkan adalah bagaimana mencerahkan pandangan tentang kesehatan reproduksi tadi bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan sebelum tiba waktunya karena justru mendatangkan berbagai hal-hal yang tidak sehat,” katanya.
Sementara itu, aspek kesehatan juga perlu diluaskan pada kesehatan sosial. “Termasuk tidak sehat secara sosial akhirnya terjadi kehamilan yang tidak diharapkan kemudian harus ada pengguguran atau kemudian menikah dalam usia yang belum saatnya, pernikahan anak dan sebagainya, ini yang harus dicegah. Bukan justru menyediakan pengobatannya dengan alat kontrasepsi tadi,” tuturnya.
[red]