Jakarta, Indonesiawatch.id – Memasuki Pemilu 2024, berbagai manuver para elite politik menebar isu tidak etis seperti, perpanjangan masa jabatan presiden, isu penundaan pemilu, cawe-cawe presiden dalam pencalonan capres, dan isu pilpres satu putaran.
Hal ini telah memicu kecurigaan masyarakat, bahwa pemilu akan curang dan manipulatif. Sejak awal masyarakat meragukan netralitas, independensi dan kapasitas penyelenggara dalam menghadirkan pemilu yang jujur dan adil.
Kecurigaan masyarakat semakin kuat, ketika pada saat tahapan pencalonan sedang berlangsung, MK memutuskan persyaratan batas usia minimal 40 tahun Capres dan Cawapres, semata-mata untuk membuka ruang bagi Gibran mencalonkan diri. Putusan MK mendatangkan kemarahan publik.
Selanjutnya terjadi keriuhan dalam tahapan penghitungan suara. Ada versi quick count, versi manual, dan Sirekap KPU.
Keadaan ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat tentang fairness dan accuracy dalam penghitungan suara. Ketidak akuratan data dan informasi ini memperlihatkan tata kelola pemilu yang tidak professional.
Fenomena anomali demokrasi yang mewarnai proses Pemilu 2024, tidak lepas dari adanya ambisi kekuasaan Presiden yang semakin jelas mengedepankan gaya kepemimpinan otoriter populis. Ambisi kekuasaan Presiden yang menginginkan adanya suksesi kepemimpinan, namun amat kental dengan praktik nepotisme.
Sehingga untuk memenuhi ambisi tersebut, terjadilah manipulasi hukum sebagai alat pembenaran atas kaidah demokrasi, walaupun sesungguhnya demokrasi berjalan hanya sebatas prosedural.
Kepemimpinan otoriter populis, telah merambah ke ranah eksistensi partai politik seperti Golkar yang baru-baru ini ditumbangkan oleh praktek politik sandera.
Lengsernya Ketua Umum Golkar, ternyata bagian dari syahwat kekuasaan istana yang menghendaki hegemoni partai politik berada ditangan Presiden. Lagi-lagi gaya kepemimpinan otoriter populis, menggunakan hukum sebagai alat politik, demi menjaga citra pemimpin yang populis.
Menurut Megawati Ketua Umum Partai PDIP, Indonesia sedang dihadapkan oleh fenomena kepemimpinan paradoks yang memadukan populisme dan Machiavelli, hingga lahirlah watak pemimpin authoritarian populism.
Jika kita amati pernyataan tersebut, tentunya gaya kepemimpinan otoriter populis, menimbulkan kerawanan terhadap kehidupan berbangsa bernegara, terlebih lagi apabila dihadapkan oleh kesenjangan masyarakat Indonesia diberbagai bidang. Potensi terbelahnya masyarakat dalam kehidupan sosial dan politik amat besar yang memicu chaos, akibat sihir gaya kepemimpinan paradoks dari sisi populisme.
Sri Radjasa MBA
-Pengamat intelijen