Dari Kecerdasan Buatan hingga Kecerdasan Energi
Oleh: Profesor Paul de Leeuw*
Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan merupakan inti dari gelombang transformatif yang membentuk kembali industri dan masyarakat. Penerapannya dalam memerangi perubahan iklim sangat penting karena dunia menghadapi darurat iklim saat ini.
Potensi AI sebagai pendorong Energi Intelligence (EI) atau Kecerdasan Energi dapat menjadi titik balik dalam mencapai emisi nol bersih melalui pengoptimalan sistem energi yang kompleks, peningkatan efisiensi global, dan mitigasi emisi.
Namun, meningkatnya penggunaan AI menimbulkan paradoks. Meskipun menawarkan kemampuan luar biasa untuk mengatasi tantangan iklim, konsumsi energinya—terutama di pusat data—berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyoroti jejak karbon pusat data yang signifikan dan berkembang pesat, yang menyumbang sekitar 2% dari permintaan listrik dunia dan mendekati 1% dari emisi global pada tahun 2022, setara dengan keluaran gas rumah kaca di Italia.
Bloomberg memperkirakan bahwa permintaan energi yang didorong oleh AI dapat meningkat lebih dari 40% setiap tahun selama dekade berikutnya, menandakan tantangan yang tidak dapat diabaikan.
Model AI, terutama yang membutuhkan banyak sumber daya seperti AI generatif, saat ini menggunakan energi hingga tiga puluh kali lebih banyak daripada aktivitas khusus tugas seperti pencarian internet, yang meningkatkan kekhawatiran tentang dampak lingkungannya.
Meskipun AI dapat meningkatkan permintaan energi, AI dapat secara bersamaan mendorong inovasi dalam efisiensi energi dan mempercepat transisi ke energi terbarukan.
Mengingat bahwa sekitar 65% emisi gas rumah kaca global dihasilkan oleh hanya sepuluh negara, menerapkan dan memprioritaskan solusi AI untuk mendekarbonisasi ekonomi ini dapat berdampak material pada pencapaian tujuan iklim yang disepakati.
Aplikasi AI yang ditargetkan dalam menganalisis dan mengoptimalkan jaringan energi, sistem energi terintegrasi, manajemen pasokan/permintaan, manajemen emisi, dan alokasi sumber daya dapat secara signifikan meningkatkan sistem energi global sekaligus mengurangi limbah dan meningkatkan keberlanjutan.
Laporan terbaru oleh BCG/Google, PwC, dan Capgemini menyoroti bahwa dengan meningkatkan skala aplikasi dan teknologi yang saat ini terbukti, AI berpotensi untuk membuka wawasan yang dapat membantu mengurangi hingga 10% emisi gas rumah kaca global selama dekade mendatang.
Jika ini dapat terlaksana dengan sukses, AI berpotensi mengimbangi emisi global yang setara dengan produksi gas rumah kaca tahunan Uni Eropa tanpa memerlukan perubahan sistem secara besar-besaran.
Kerja sama global akan sangat penting untuk membuka potensi penuh AI dalam transisi menuju nol emisi.
Forum mendatang, termasuk KTT pra-COP29 di Abu Dhabi, COP29 di Azerbaijan, dan ADIPEC di Uni Emirat Arab (UEA), merupakan peluang penting bagi para pemimpin dunia, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan industri untuk mempercepat komitmen dalam mendekarbonisasi sistem energi global.
Pertemuan ini akan menyediakan platform untuk meningkatkan standar investasi teknologi, mendukung kerangka kebijakan, dan kolaborasi lintas batas untuk mencapai nol emisi.
Urgensinya jelas—kita mungkin generasi terakhir yang mampu memberlakukan perubahan yang berarti sebelum dampak iklim menjadi tidak dapat diubah.
Kemampuan AI untuk mengatasi efisiensi energi, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan mengurangi emisi sangat penting dalam membentuk masa depan yang lebih bersih, lebih hijau, dan lebih berkelanjutan.
Jalan menuju nol emisi bersih pada 2050 bergantung pada penyelarasan investasi, inovasi, dan teknologi menuju praktik energi berkelanjutan, yang didukung oleh kepemimpinan global yang tak tergoyahkan. Penerapan AI dan EI tidak hanya merupakan alat, tetapi juga titik balik potensial dalam perjalanan kita untuk mencapainya.
*Penulis adalah Director of Robert Gordon University’s Energy Transition Institute, Opini juga dimuat di “Energy Voice”