Menu

Dark Mode
Universitas Bakrie Gelar Diskusi Dinamika Reformasi dan Tata Kelola Intelijen Tentara dalam Pusaran Kejahatan Merajut Kembali Imajinasi Kebangsaan jika Tidak Ingin Melihat Indonesia Tinggal Sejarah Pemerhati Intelijen: Serangan Balik Koruptor Kepada Kejagung Adalah Pelecehan Terhadap Kewibawaan Negara Di Kota Pahlawan, Zyrex Dorong Kemajuan Teknologi AI di Indonesia Wibisono: Tidak Mengembalikan Dwifungsi TNI, Revisi UU TNI Wajar

Opini

Darurat Deindustrialisasi: Antara Idealisme dan Pragmatisme Kebijakan

Avatarbadge-check


					Ilustrasi Karyawati Pabrik Tekstil (Doc. Bisnis.com) Perbesar

Ilustrasi Karyawati Pabrik Tekstil (Doc. Bisnis.com)

Darurat Deindustrialisasi: Antara Idealisme dan Pragmatisme Kebijakan

Oleh: Alfian Banjaransari*

 

Ramai pemberitaan mengenai indikasi impor ilegal dan “bobolnya” bea cukai sebagai biang keroknya. Meski demikian, hendaknya kita tetap fokus dengan deindustrialisasi sebagai “penyakit” utamanya.

 

Indonesia benar-benar tengah menghadapi darurat deindustrialisasi. Sudah empat bulan berturut-turut Purchasing Manager’s Index (PMI) Indonesia mandek di bawah angka 50. Hal ini mengindikasikan lesunya permintaan dan aktivitas manufaktur. Bayangkan, sektor manufaktur hanya menyumbang 18,25% dari total PDB pada kuartal kedua 2023, merosot dari 27,8% pada 2008.

Berita bangkrutnya raksasa tekstil Sritex yang mewarnai media massa belakangan seolah menegaskan hal ini. Ramai pemberitaan mengenai indikasi impor ilegal dan “bobolnya” bea cukai sebagai biang keroknya. Meski demikian, hendaknya kita tetap fokus dengan deindustrialisasi sebagai “penyakit” utamanya.

Memang, isu deindustrialisasi sejatinya sudah ramai diperbincangkan masyarakat. Pemerintah pun sudah mengakui adanya fenomena deindustrialisasi ini. Pertanyaannya, adakah pemerintah mau berbenah? Lebih lanjut, apakah solusi yang diambil efektif atau malahan kontraproduktif? Kebijakan pemerintah memberdayakan industri Indonesia hendaknya tidak menambah beban yang menghambat inovasi dan daya saing.

Ambil contoh barang modal impor. Proses manufaktur modern tentu membutuhkan komponen canggih yang kemungkinan besar tidak diproduksi di dalam negeri. Sementara kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mengharuskan persentase tertentu dari komponen lokal. Meskipun tujuannya untuk membangun industri dalam negeri, kebijakan ini seringkali meningkatkan biaya produksi bagi produsen yang kesulitan menemukan komponen lokal berkualitas tinggi.

Hal ini menjadi paradoks: demi memberdayakan industri dalam negeri, kita malah justru mengebiri kesempatan untuk transfer teknologi dan pengembangan skill.

Lebih lanjut, kebijakan perdagangan kita terlihat penuh kontradiksi. Kita ingin menggenjot ekspor tapi di waktu yang bersamaan mempersulit impor, termasuk tadi – barang modal. Betapa tidak, pengenaan tarif/bea dan instrumen Non Tariff Measure (NTM) lain demi melindungi produsen dalam negeri justru berisiko mengisolasi Indonesia dari pasar global. Memangnya negara-negara yang kita halangi impornya akan diam saja? Contohlah negara tetangga seperti Vietnam yang menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam global value chain (GVC) malah mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.

Dampak nyata dari kebijakan ini terlihat jelas di sektor-sektor yang padat karya, yang terpinggirkan oleh industri padat modal. Industri tekstil, yang pernah mempekerjakan jutaan orang, kini menyusut dari 3,5 juta pekerja pada 2019 menjadi diperkirakan 3 juta pada 2024. Terlepas dari tuduhan dumping produk tekstil Tiongkok (yang tidak boleh sembarangan dituduhkan dan harus dibuktikan), bukankah hal ini menunjukkan bahwa produk tekstil Indonesia kesulitan bersaing?

Jika Indonesia ingin “mengobati” deindustrialisasi dini dan menjadi nehara berpendapatan tinggi di tahun 2045, maka langkah-langkah nyata harus segera diambil. Pertama, pemerintah perlu fokus pada revitalisasi sektor manufaktur dengan mendorong investasi yang lebih besar, terutama dalam industri padat karya yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.

Kedua, kebijakan yang diambil harus mendukung inovasi dan daya saing tanpa menambah beban bagi produsen. Misalnya, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) perlu ditinjau agar tidak menghambat akses terhadap barang modal impor yang dibutuhkan untuk mendongkrak produktivitas dan inovasi industri domestik. Tanpa komponen yang tepat, industri tidak akan mampu bersaing di pasar global.

Ketiga, penting bagi Indonesia untuk memperkuat integrasi ke dalam rantai nilai global (GVC). Negara-negara seperti Vietnam telah menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam GVC dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif dan terbuka terhadap perdagangan internasional, Indonesia dapat memanfaatkan potensinya untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tak pelak, Indonesia harus berani merombak kebijakan yang ada dan beradaptasi dengan dinamika pasar global agar tidak terjebak dalam pertumbuhan yang stagnan.

 

*Penulis adalah Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME-ID)

Berita Terbaru

Universitas Bakrie Gelar Diskusi Dinamika Reformasi dan Tata Kelola Intelijen

21 March 2025 - 17:50 WIB

Tentara dalam Pusaran Kejahatan

21 March 2025 - 17:48 WIB

reformasi TNI

Merajut Kembali Imajinasi Kebangsaan jika Tidak Ingin Melihat Indonesia Tinggal Sejarah

20 March 2025 - 09:55 WIB

Pemerhati Intelijen: Serangan Balik Koruptor Kepada Kejagung Adalah Pelecehan Terhadap Kewibawaan Negara

18 March 2025 - 19:25 WIB

ilustrasi Gedung Kejagung.

Wibisono: Tidak Mengembalikan Dwifungsi TNI, Revisi UU TNI Wajar

18 March 2025 - 12:21 WIB

Populer Berita Hankam