Jakarta, Indonesiawatch.id – Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2024, akan mengakhiri tugasnya pada 20 Desember 2024. Ditengah merosotnya kinerja KPK, tapi tekad Dewas KPK patut mendapat apresiasi atas tugas pengawasan yang diembannya, dihadapkan oleh berbagai tantangan dan hambatan yang memasung kewenangan Dewas KPK.
Kita menyadari Dewas KPK periode 2019-2024 diawaki oleh tokoh-tokoh yang memiliki integritas moral yang tinggi dan komitmen yang tidak pernah surut, untuk memberantas korupsi, tapi Pasal 37 UU KPK membatasi kewenangan Dewas KPK, hanya memberikan rekomendasi terhadap pelanggaran yang dilakukan pimpinan KPK, tanpa diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan KPK.
Syamsudin Haris salah satu anggota Dewas KPK, amat kooperatif untuk menerima laporan tentang pelanggaran yang diduga melibatkan pimpinan KPK, tapi upaya untuk menindaklanjuti laporan tersebut, ironinya selalu dihambat oleh pimpinan KPK, dengan alasan keterbatasan kewenangan Dewas KPK.
Betapa naifnya keberadaan Dewas KPK, ketika KPK didera badai pelanggaran yang melibatkan pimpinan KPK. Seperti dalam kasus Firly Bahuri, bagaimana Dewas KPK amat “geregetan” untuk menjatuhkan sanksi berat kepada Firly, tapi lagi-lagi terbentur oleh peraturan yang membatasi ruang gerak Dewas KPK.
Syamsudin Haris dalam wawancara dengan Indonesiawatch.id, dengan tegas mengatakan Pimpinan KPK takut oleh tekanan kekuasaan politik, sehingga tidak punya nyali.
Mencermati komitmen moral Presiden Prabowo yang menyatakan perang terhadap pejabat korup, tentunya komisi III DPR RI perlu mengambil langkah responsive, untuk meninjau kembali UU KPK, khususnya menyangkut Dewas KPK, dalam rangka memberi ruang kewenangan untuk melakukan penjatuhan sanksi hukum, terhadap pimpinan KPK yang terbukti melanggar aturan.
Indonesia saat ini sudah pada status darurat korupsi, maka penanganan korupsi harus mengedepankan langkah-langkah darurat.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen