Jakarta, Indonesiawatch.id – Mundurnya Airlangga Hartarto secara tiba-tiba sebagai Ketua Umum Partai Golkar, menurut Mensesneg Pratikno, karena adanya dugaan keterlibatan 11 kasus korupsi. Diantaranya yang teranyar adalah kasus minyak goreng.
Sedangkan menurut seorang tokoh parpol, keputusan Airlangga mundur sebagai Ketua Umum Golkar, karena adanya tekanan yang kuat dari istana. Disisipi pesan singkat, agar segera mundur dari kursi Ketua Umum Golkar, jika tidak ingin statusnya dinaikan menjadi tersangka.
Mencermati fakta di atas, semakin jelaslah bahwa pengelolaan negara ini benar-benar amburadul. Apakah karena Airlangga seorang menteri dan anak mantan menteri, kemudian sejumlah dugaan keterlibatannya dalam kasus tindak pidana, dapat dibarter hanya dengan lengser dari jabatan, tanpa harus menjalani proses hukum.
Apakah Presiden bisa menggunakan hukum sebagai alat bargaining politik, untuk memperkokoh kekuasaannya. Semua ini terjadi di depan mata kita. Nilai moral dan rasa keadilan tidak lagi menjadi parameter, dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kekuasaan telah dijadikan berhala baru yang wajib disembah. Hanya kakap yang mampu berenang mengarungi arus Undang-Undang. Sementara teri tenggelam digerus Undang-Undang .
Di saat bangsa ini sedang memperingati hari kemerdekaan yang sakral, justru para penyelenggara negara tanpa risih memainkan “dagelan politik” yang membuat perut rakyat yang lapar semakin mual. Mungkin hanya terjadi di negeri tercinta ini.
Ketika seorang Menteri Koordinator Bidang Perekonomian terlibat kasus korupsi, harusnya pertanggung jawaban atas perbuatannya yang dikejar. Bukannya dipaksa mundur dari jabatan Menko Ekonomi, tapi justru sebagai Ketua Umum Golkar.
Dari kasus Airlangga, dapat ditarik sebuah pelajar, jangan melulu menganggap rakyat bodoh, jika para pemangku kebijakan tidak mawas diri, untuk merenungi bahwa ternyata dirinya dungu.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen