Jakarta, Indonesiawatch.id – Belum lama ini raksasa teknologi Microsoft mengalami gangguan setelah pembaruan software oleh CrowdStrike yang berdampak pada penggunaan Microsoft di beberapa negara seperti di bandara atau penerbangan, rumah sakit, saluran televisi, hingga bank.
Pihak Microsoft menyatakan, mereka telah mengambil langkah mitigasi setelah gangguan akses (down) pada sejumlah layanan tersebut. “Layanan kami masih mengalami peningkatan yang berkelanjutan sementara kami terus melakukan tindakan mitigasi,” kata Microsoft dalam sebuah unggahan di X dikutip dari AFP.
Dalam sebuah pemberitahuan berjudul “Service Degradation”, Microsoft mengatakan bahwa pengguna mungkin tidak dapat mengakses berbagai aplikasi dan layanan Microsoft 365. Pengumuman tersebut muncul ketika Australia melaporkan gangguan sistem berskala besar pada Jumat, 19 Juli 2024.
Gangguan tersebut berdampak pada lembaga penyiaran nasional Australia, bandara internasional terbesarnya, dan perusahaan telekomunikasi besar. Koordinator Keamanan Siber Nasional Australia mengatakan bahwa pemadaman teknis berskala besar tersebut disebabkan oleh masalah pada platform perangkat lunak pihak ketiga.
Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan, insiden gangguan Microsoft yang berdampak terhadap layanan di bandara, rumah sakit dan berbagai layanan publik yang menggunakan Microsoft, perlu dijadikan pelajaran penting dan berharga bagi pemerintah dan perusahaan teknologi di Indonesia.
“Bahwa kita harus memiliki kemandirian dalam hal teknologi sekaligus memperkuat infrastruktur digital dan keamanan-ketahanan sibernya. Cina tidak menggunakan Microsoft, sehingga tidak terdampak apa-apa atas insiden ini,” ujar Sukamta.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyebut, jika kasus Microsoft by accident terjadi, dapat menimbulkan persoalan dan chaos di berbagai instansi di berbagai negara. Di masa depan bisa jadi insiden seperti ini dilakukan dengan sengaja apapun motifnya.
“Dan itu bisa membuat negara terancam lumpuh. Saat kondisi seperti itu terjadi, kekacauan sosial bisa timbul. Bahkan saat suatu negara terlibat konflik, setelah sibernya lumpuh, serangan militer bisa terjadi,” ucapnya.
Sukamta mengatakan, negara yang melakukan digitalisasi seperti Indonesia harus waspada dan melakukan antisipasi terhadap gangguan siber sejak dini, baik ketika merancang suatu sistem IT baru atau dari sistem yang eksisting. “Apalagi jika suatu negara full digital yang hampir semua lini kehidupan digerakkan dengan sistem komputer, layanan air bersih, listrik, transportasi, rumah sakit, perbankan, dan seterusnya. Di situlah pentingnya kedaulatan dan kemandirian digital di negeri kita,” ujarnya.
Ia menekankan pelajaran dari bobolnya Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 sebulan yang lalu. “Saat ini kita masih dalam situasi terkejut atas serangan terhadap PDNS2. Banyak Kementerian Lembaga terkena dampaknya. Yang baru baru saja terekspos adalah ratusan data Kementerian PUPR dinyatakan hilang,” katanya.
“Sayangnya hingga kini pemerintah belum menyampaikan ke publik secara resmi kondisi data-data yang terdampak insiden PDNS 2. Pemerintah utang besar penjelasan dan penangan kepada bangsa dan negeri ini,” pungkas Sukamta.
[red]