Jakarta, Indonesiawatch.id – Pergantian Ketua Umum Golkar Airlangga, sesungguhnya sudah menjadi isu politik sejak sebelum penyelenggaraan Pemilu 2024. Nasib kali ini memang tidak berpihak kepada Airlangga, bak makan buah simalakama, menolak ambisi sang majikan berarti pintu hotel prodeo semakin lebar terbuka.
Sementara memenuhi nafsu politik sang majikan, beresiko terhadap nasib Golkar ke depan. Sayangnya Airlangga tidak dilahirkan sebagai sosok petarung, akhirnya dia mundur demi membuka seluas-luasnya pintu Golkar untuk majikannya.
Dalam rangka melanggengkan kekuasaannya dan mengamankan keselamatan keluarganya. Konfigurasi peta politik nasional, amat dipengaruhi oleh gonjang ganjing lengsernya Ketua Umum Golkar Airlangga, tetapi di pihak lain dewi fortuna sedang berada dalam pelukan Bahlil Lahadalia, sosok lelaki babyface.
Berangkat dari seorang kondektur, kini memiliki sederet jabatan mentereng setelah diangkat oleh Jokowi sebagai Menteri di kabinet Indoensia Maju. Nampaknya kepercayaan Jokowi terhadap loyalitas Bahlil bak tidak bisa ke lain hati, membuat Jokowi memberikan kepercayaan penuh kepada Bahlil untuk menakhodai Golkar.
Walau sesungguhnya posisi Ketua Umum Golkar adalah mimpi Jokowi paska lengser dari kursi Presiden, namun apa mau dikata terlalu banyak resiko yang harus dihadapi, oleh sebab itu demi tetap untuk memenuhi ambisinya, maka digunakan opsi kedua, menempatkan sang kondektur dan kendali tetap berada di tangan supir.
Trend politik saat ini, amat gandrung menggunakan model boneka sebagai alat kendali dan perpanjangan tangan kekuasaan, dalam rangka membangun imperium kekuasaan politik dibawah kendali “God Father”.
Fenomena tata kelola kekuasaan politik yang semakin intens menempatkan keluarga dan kerabat pada jabatan strategis, menggunakan hukum sebagai alat intimidasi terhadap mereka yang dipandang berseberangan.
Kemudian memanfaatkan instrumen kejahatan terorganisasi untuk melakukan teror terhadap oposisi, selanjutnya menutup semua akses ekonomi kepada kelompok oposisi dan tindakan kriminalisasi terhadap mereka yang dianggap membahayakan kelangsungan kekuasaan.
Jika diamati secara seksama, ada kesamaan dan sebangun dengan tata kelola organisasi mafia. Terlebih lagi jika diamati bentuk loyalitas total kepada figur majikan, diikat oleh kode etik kehormatan (dikalangan mafia disebut Omerta) membuat sindikat kekuasaan politik menjadi super body yang tidak tersentuh dan memiliki network diseluruh instrumen negara. Sesungguhnya inilah ancaman nyata bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen