Ancaman Pengkhianat Bangsa CBA: Pertamina Patra Niaga Diminta Jangan Tutup-Tutupi Pemain Gas Elpiji Melon BPMA untuk Rakyat Aceh, Bukan Tangan Oligarki Tambang Migas Guru Besar UIN Jakarta Apresiasi Prestasi Indonesia dalam MTQ Internasional Larangan Pengecer Jual LPG 3 Kg, Mematikan Usaha Akar Rumput Sistem Pertahan & Keamanan Rakyat Semesta: Filosofi Bela Negara atau Bela Oligarki Taipan

Opini

Indonesia Menghadapi Tantangan Ekonomi Jangka Panjang yang Serius

Avatarbadge-check


					Ilustrasi Pembangunan Fisik IKN (Doc. ANTARA Foto) Perbesar

Ilustrasi Pembangunan Fisik IKN (Doc. ANTARA Foto)

Wawancara Khusus

Alfian Banjaransari

Country Manager Center for Market Education Indonesia

Indonesia Menghadapi Tantangan Ekonomi Jangka Panjang yang Serius

 

 

Sejumlah tantangan ekonomi dihadapi Indonesia sepanjang 2024 mulai dari inflasi yang tinggi, pengangguran yang meningkat, sulitnya lapangan kerja, dan sempitnya kemudahan berusaha. Selain itu, tingkat produktivitas Indonesia masih perlu diperbaiki terutama di tiga sumber produksi, yakni kapital, tenaga kerja, dan total factory productivity. Untuk menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan upaya cerdas dari pemerintah untuk melakukan inovasi kebijakan untuk menumbuhkan ekonomi dan menstimulus investasi. Guna mengupas lebih lanjut terkait tantangan ekonomi Indonesia menjelang transisi pemerintahan baru, Redaksi Indonesiawatch.id mewawancarai Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME-ID), Alfian Banjaransari. Berikut petikan wawancara dengan lelaki alumnus Manajemen Inovasi di University of Manchester, Inggris ini:

Menurut Anda, apakah ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi?

Di atas kertas Indonesia masih mencatat pertumbuhan ekonomi, tahun ini saja ekonomi diprediksi tumbuh sekitar 5%. Meski demikian, ada sejumlah pertanda bahwa ekonomi kita menghadapi tantangan jangka panjang yang serius. Agar kita memiliki gambaran yang jelas ada baiknya kita mundur dulu sejenak.

Selama periode booming komoditas sumber daya alam (SDA) di dekade pertama tahun 2000-an, Indonesia tumbuh dengan pesat. Sayangnya, kita terlena dan mengabaikan pentingnya diversifikasi ekonomi, terutama pengembangan sektor industri manufaktur. Ketika negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam dan Thailand memperkuat basis industrinya, Indonesia malah mengalami “premature deindustrialization” di mana kontribusi sektor manufaktur kita merosot sebelum sempat berkembang dengan optimal.

Dari data, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB yang semula berada di kisaran 28% pada awal 2000-an, kini hanya menjadi 19% pada 2020. Hal ini dibarengi dengan kurangnya investasi di sektor pendidikan dan pengembangan keterampilan tenaga kerja. Betapa tidak, hanya sekitar 10% tenaga kerja kita yang memiliki pendidikan tinggi pada 2019, jauh di bawah standar negara tetangga seperti Malaysia yang hampir 30%.

Akibatnya, saat harga komoditas mulai turun pada pertengahan 2010-an, ekonomi kita terseok-seok. Tingkat pengangguran naik (terlebih selama pandemi Covid-19), sementara kesempatan kerja di sektor manufaktur semakin sedikit. Banyak tenaga kerja kita terpaksa beralih ke sektor informal atau jasa dengan upah rendah, yang akhirnya menekan daya beli masyarakat. Kalau tidak salah, 45% penduduk Indonesia berada dalam kategori rentan miskin.

Masalah ini semakin jelas terlihat dengan pertumbuhan upah yang stagnan, rata-rata hanya tumbuh 1,5% per tahun antara 2015 dan 2020, sangat tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan biaya hidup yang tergerus inflasi. Pada akhirnya, deindustrialisasi dini ini mengakibatkan kesulitan lapangan kerja yang akhirnya menekan kelas menengah.

Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, apakah salah jika Indonesia bergantung ke ekspor komoditas?

Tidak salah jika Indonesia memanfaatkan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang kita miliki—itu adalah salah satu anugerah Tuhan. Namun, terlalu bergantung pada ekspor komoditas tanpa diversifikasi akan menjadi bumerang, dan inilah yang kita alami saat ini. Sebagai negara yang kaya SDA, kita memang diuntungkan selama harga komoditas tinggi. Saat itu, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang kuat berkat lonjakan ekspor sawit dan minerba (mineral dan batu bara). Namun, ekonomi berbasis komoditas ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga global.

Ketika harga komoditas turun, ekonomi kita pun ikut tertekan. Permintaan global terhadap komoditas bisa berubah drastis akibat berbagai faktor, seperti inovasi teknologi, perubahan kebijakan lingkungan, atau bahkan ketidakpastian geopolitik. Ketergantungan semacam ini membuat ekonomi kita kurang stabil dan sulit untuk berkembang secara berkelanjutan.

Bagaimana dampaknya terhadap makro ekonomi?

Salah satu dampak langsung dari ketergantungan pada komoditas adalah pada nilai tukar rupiah kita, yang merupakan mata uang yang sangat bergantung pada komoditas (commodities currency). Fluktuasi dalam neraca perdagangan—yaitu selisih antara ekspor dan impor—akan sangat memengaruhi kinerja rupiah. Ketika harga komoditas turun, pendapatan dari ekspor berkurang, yang dapat mengakibatkan defisit neraca perdagangan yang menyebabkan permintaan untuk rupiah menurun sehingga rupiahpun terdepresiasi. Saat ini, kita melihat rupiah melemah hingga mencapai kisaran Rp15.000 hingga 16.000 per USD (dibandingkan dengan akhir era kepemimpinan presiden SBY dimana rupiah berada di kisaran Rp9.000 per USD), yang mencerminkan kerentanan terhadap fluktuasi global.

Masalah lainnya adalah SDA seperti minyak, gas, dan kelapa sawit, cenderung menghasilkan pekerjaan bernilai tambah rendah. Sektor ini tidak menyerap tenaga kerja terampil dalam jumlah besar atau menciptakan inovasi yang bisa memicu pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Negara-negara yang telah berhasil “naik kelas” seperti Korea Selatan dan Taiwan, fokus pada industri bernilai tinggi seperti teknologi, manufaktur, dan jasa. Mereka tidak lagi bergantung pada sumber daya alam tetapi beralih menjadi kekuatan ekonomi yang berbasis inovasi dan keterampilan.

Memang, terlalu bergantung pada SDA juga menyebabkan kita melupakan investasi di sektor-sektor strategis lainnya, seperti manufaktur dan pendidikan. Tanpa pengembangan sektor industri yang kuat dan investasi dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, kita tidak memiliki fondasi yang kokoh saat siklus harga komoditas menurun.

Lantas sebaiknya bagaimana peran pemerintah? Apakah Indonesia butuh keterlibatan pemerintah yang lebih aktif?

Dalam konteks tantangan ekonomi Indonesia saat ini, penting bagi kita untuk melihat peran dan kedudukan pemerintah. Di satu sisi, kita sebagai rakyat dan pelaku ekonomi memiliki kemampuan unik untuk mendorong inovasi, efisiensi, dan pertumbuhan ekonomi. Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara yang mengadopsi kebijakan ramah pasar cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Misalnya, berdasarkan data Bank Dunia, selama periode 2000 hingga 2019, negara-negara yang menerapkan reformasi ekonomi berbasis pasar, seperti Vietnam, mencatat pertumbuhan PDB tahunan rata-rata di atas 6%.

Namun, pasar juga memiliki keterbatasan, dan di sinilah peran pemerintah selaku regulator. Pemerintah perlu fokus pada menciptakan aturan main yang memungkinkan pasar berfungsi dengan baik, termasuk menjaga persaingan sehat, memastikan transparansi dan kepastian hukum, serta melindungi hak-hak kepemilikan.

Bagaimana tantangan Indonesia dalam hal daya saing?

Kalau kita boleh jujur, Indonesia saat ini masih memiliki tantangan dalam hal daya saing. Menurut Laporan Daya Saing Global 2019 oleh World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 51 dari 141 negara, jauh tertinggal dari Singapura dan Malaysia. Kelemahan dalam infrastruktur, sistem pendidikan, dan iklim investasi menunjukkan bahwa pasar memerlukan dukungan yang tepat dari pemerintah untuk berkembang secara optimal. Pemerintah juga harus menjaga agar semua pelaku pasar memiliki kesempatan yang sama. Dengan menciptakan level playing field, seperti memangkas birokrasi yang menghambat usaha kecil, pemerintah dapat membiarkan inovasi dan persaingan berkembang. Alih-alih, intervensi yang tidak perlu dapat menciptakan distorsi pasar. Oleh karena itu, pemerintah perlu bersikap bijak dan berfokus pada perannya sebagai regulator yang mendorong inovasi dan pertumbuhan.

[red]

Berita Terbaru

Ancaman Pengkhianat Bangsa

8 February 2025 - 05:07 WIB

CBA: Pertamina Patra Niaga Diminta Jangan Tutup-Tutupi Pemain Gas Elpiji Melon

7 February 2025 - 01:16 WIB

Ilustrasi: Gedung Pertamina Patra Niaga.

BPMA untuk Rakyat Aceh, Bukan Tangan Oligarki Tambang Migas

7 February 2025 - 01:06 WIB

Kantor Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA).

Guru Besar UIN Jakarta Apresiasi Prestasi Indonesia dalam MTQ Internasional

4 February 2025 - 15:10 WIB

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie

Larangan Pengecer Jual LPG 3 Kg, Mematikan Usaha Akar Rumput

2 February 2025 - 21:03 WIB

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi (Foto: dunia-energi.com)
Populer Berita Energi