Eks Pangdam XII/Tanjungpura Mayjend TNI Iwan Setiawan Ditunjuk Jadi Danpussenif Legislator Ini Minta Pertamina Dibubarkan Jaksa Siapkan Dakwaan Pencucian Uang Rp73 Miliar Panji Gumilang Dua Bos Smelter Timah Dituntut 14 Tahun Penjara, GM PT TIN 6 Tahun Leletnya Birokrasi Sektor Tambang, Smelter Bijih Besi di Indonesia Gulung Tikar Kesulitan Dapat Bahan Baku, AP3I: Ada Smelter Indonesia Impor Nikel Ore

Opini

Kabinet Gemuk Prabowo, Berpotensi Gerus Fiskal APBN?

Avatarbadge-check


					Presiden Terpilih Prabowo Subianto (Doc. ANTARA Foto) Perbesar

Presiden Terpilih Prabowo Subianto (Doc. ANTARA Foto)

Kabinet Gemuk Prabowo, Berpotensi Gerus Fiskal APBN?

Oleh: Wibisono*

 

Konsekuensi lainnya dari kabinet pemerintahan baru yang besar, pastinya membuat ruang oposisi semakin kecil. Peran dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah,akan semakin sulit dilakukan.

 

Dalam pekan ini, presiden terpilih Prabowo Subianto memanggil para calon menteri dan wakil menteri ke kediamannya di Kertanegara 4, Jakarta Selatan. Dikabarkan, komposisi jumlah kementerian dalam kabinet presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan mengalami penambahan yang signifikan. Semula kursi kabinet pada era Presiden Jokowi berjumlah 34 kini diprediksi menjadi sebanyak 46.

Kabar mengenai hal ini lantas menjadi perhatian publik, Sebab, rencana penambahan jumlah kementerian ini sering dipandang sebagai politik balas budi.

Saya menilai hal ini sah-sah saja bagi Prabowo dalam menyusun kabinetnya dengan memilih para pembantunya di pemerintahan yang akan datang. Namun, dalam pandangan saya, kabinet yang terlalu banyak atau gemuk justru tidak akan efektif.

Sejumlah kalangan memprediksi kursi kabinet akan minim figur profesional, namun justru banyak diisi utusan partai atau relawan pendukungnya. Yang dikhawatirkan ini adalah bias dari politik balas budi, sehingga kursi menteri akan diisi oleh banyak politisi—bukan dari kalangan profesional yang memang kompeten di bidangnya.

Konsekuensi lainnya dari kabinet pemerintahan baru yang besar, pastinya membuat ruang oposisi semakin kecil. Peran dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah,akan semakin sulit dilakukan.

Dampak yang juga penting, fiskal APBN akan tergerus untuk membayar pegawai yang tentunya akan membengkak dari jumlah kementrian yang ada.

Lalu pertanyaannya, dari mana pos anggaran untuk biaya pegawai? Dari perspektif birokrasi, belanja rutin adalah semua belanja APBN di luar belanja modal. Artinya, “belanja rutin” terdiri dari belanja pegawai, belanja barang (termasuk biaya pemeliharaan), pembayaran bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Dan total belanja rutin ini sudah mencapai 86-88 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Itupun sudah termasuk utang dari defisit anggaran yang pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp337 triliun, saat ini pendapatan negara sudah habis untuk “belanja rutin”.

Anggaran pembangunan zaman Pak Harto sekarang dinamakan belanja modal, dan sepenuhnya juga dibiayai dari utang. Yaitu, belanja modal hanya Rp303 triliun tetapi defisit atau utang anggaran mencapai Rp337 triliun.

Belanja pegawai dan pembayaran bunga utang memang sangat rigid. Hampir tidak mungkin dipangkas. Kalau tidak salah, kedua pos anggaran ini saja sudah mencapai 40-45 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat.

Tetapi, belanja barang, subsidi, dan bantuan sosial kan masih bisa fluktuasi atau dipangkas. Karena ketiganya tidak murni belanja rutin.

Tetapi fluktuasinya tidak bisa terlalu besar. Belanja barang, namanya saja belanja barang, tetapi sebenarnya adalah belanja operasional rutin juga, termasuk biaya pemeliharaan rutin. Jadi tidak bisa dipangkas terlalu banyak. Belanja barang saja sudah mencapai sekitar 22 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat, yang sudah termasuk utang anggaran tadi.

Sedangkan, belanja subsidi dan belanja bantuan sosial sebenarnya juga termasuk “belanja rutin”. Selama kondisi sosial masyarakat tidak banyak berubah, seperti yang terjadi selama 10 tahun terakhir ini, maka kebutuhan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial juga masih sama saja.

Bahkan, kondisi sosial selama lima tahun belakangan ini malah memburuk, sehingga belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya naik. Tetapi di era pemerintahan Jokowi malah dipangkas.

Kalau belanja subsidi atau bantuan sosial dikurangi hanya untuk membiayai penambahan jumlah kementerian yang membengkak, risikonya cukup besar. Daya beli masyarakat kelompok bawah akan turun drastis, dan tingkat angka kemiskinan akan naik.

 

*Penulis Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN)

Berita Terbaru

Eks Pangdam XII/Tanjungpura Mayjend TNI Iwan Setiawan Ditunjuk Jadi Danpussenif

10 December 2024 - 16:01 WIB

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menunjuk Eks Pangdam XII/Tanjungpura, Mayjen TNI Iwan Setiawan menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Danpussenif)

Legislator Ini Minta Pertamina Dibubarkan

10 December 2024 - 15:45 WIB

Ilustrasi 5 kasus korupsi di Pertamina. (Indonesiawatch.id/Dok. Pertamina)

Jaksa Siapkan Dakwaan Pencucian Uang Rp73 Miliar Panji Gumilang

10 December 2024 - 14:04 WIB

Penyerahan tahap II tersangka Panji Gumilang di Kejari Indramayu. Tim JPU segera siapkan surat dakwaan Panji Gumilang dalam perkara pencucian uang Rp73 miliar. (Indonesiawatch.id/Dok. Kejagung)

Dua Bos Smelter Timah Dituntut 14 Tahun Penjara, GM PT TIN 6 Tahun

10 December 2024 - 12:15 WIB

JPU membacakan tuntutan terhadap para terdakwa korupsi hingga pencucian uang perkara timah. (Indonesiawatch.id/Ist)

Leletnya Birokrasi Sektor Tambang, Smelter Bijih Besi di Indonesia Gulung Tikar

10 December 2024 - 12:08 WIB

Ilustrasi penambangan bijih besi.
Populer Berita Minerba