Menu

Dark Mode
Apresiasi Kejagung, CERI Juga Minta Diperjelas Keterlibatan Eks Dirut Pertamina di Kasus Korupsi Pengadaan Minyak Alibi.com, Komedi Kolaborasi Lintas Generasi Diam adalah Emas, Tak Berlaku bagi Presiden Prabowo Silfester, Potret Jokowisme Mixed Political Art Pidato Pengukuhan Guru Besar, Dosen Unpad Ini Singgung Kebijakan Gubernur KDM Lain Beathor Lain Armando Inilah Potret Politik Berhala

Opini

Kabinet Gemuk Prabowo, Berpotensi Gerus Fiskal APBN?

Avatarbadge-check


					Presiden Terpilih Prabowo Subianto (Doc. ANTARA Foto) Perbesar

Presiden Terpilih Prabowo Subianto (Doc. ANTARA Foto)

Kabinet Gemuk Prabowo, Berpotensi Gerus Fiskal APBN?

Oleh: Wibisono*

 

Konsekuensi lainnya dari kabinet pemerintahan baru yang besar, pastinya membuat ruang oposisi semakin kecil. Peran dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah,akan semakin sulit dilakukan.

 

Dalam pekan ini, presiden terpilih Prabowo Subianto memanggil para calon menteri dan wakil menteri ke kediamannya di Kertanegara 4, Jakarta Selatan. Dikabarkan, komposisi jumlah kementerian dalam kabinet presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan mengalami penambahan yang signifikan. Semula kursi kabinet pada era Presiden Jokowi berjumlah 34 kini diprediksi menjadi sebanyak 46.

Kabar mengenai hal ini lantas menjadi perhatian publik, Sebab, rencana penambahan jumlah kementerian ini sering dipandang sebagai politik balas budi.

Saya menilai hal ini sah-sah saja bagi Prabowo dalam menyusun kabinetnya dengan memilih para pembantunya di pemerintahan yang akan datang. Namun, dalam pandangan saya, kabinet yang terlalu banyak atau gemuk justru tidak akan efektif.

Sejumlah kalangan memprediksi kursi kabinet akan minim figur profesional, namun justru banyak diisi utusan partai atau relawan pendukungnya. Yang dikhawatirkan ini adalah bias dari politik balas budi, sehingga kursi menteri akan diisi oleh banyak politisi—bukan dari kalangan profesional yang memang kompeten di bidangnya.

Konsekuensi lainnya dari kabinet pemerintahan baru yang besar, pastinya membuat ruang oposisi semakin kecil. Peran dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah,akan semakin sulit dilakukan.

Dampak yang juga penting, fiskal APBN akan tergerus untuk membayar pegawai yang tentunya akan membengkak dari jumlah kementrian yang ada.

Lalu pertanyaannya, dari mana pos anggaran untuk biaya pegawai? Dari perspektif birokrasi, belanja rutin adalah semua belanja APBN di luar belanja modal. Artinya, “belanja rutin” terdiri dari belanja pegawai, belanja barang (termasuk biaya pemeliharaan), pembayaran bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Dan total belanja rutin ini sudah mencapai 86-88 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Itupun sudah termasuk utang dari defisit anggaran yang pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp337 triliun, saat ini pendapatan negara sudah habis untuk “belanja rutin”.

Anggaran pembangunan zaman Pak Harto sekarang dinamakan belanja modal, dan sepenuhnya juga dibiayai dari utang. Yaitu, belanja modal hanya Rp303 triliun tetapi defisit atau utang anggaran mencapai Rp337 triliun.

Belanja pegawai dan pembayaran bunga utang memang sangat rigid. Hampir tidak mungkin dipangkas. Kalau tidak salah, kedua pos anggaran ini saja sudah mencapai 40-45 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat.

Tetapi, belanja barang, subsidi, dan bantuan sosial kan masih bisa fluktuasi atau dipangkas. Karena ketiganya tidak murni belanja rutin.

Tetapi fluktuasinya tidak bisa terlalu besar. Belanja barang, namanya saja belanja barang, tetapi sebenarnya adalah belanja operasional rutin juga, termasuk biaya pemeliharaan rutin. Jadi tidak bisa dipangkas terlalu banyak. Belanja barang saja sudah mencapai sekitar 22 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat, yang sudah termasuk utang anggaran tadi.

Sedangkan, belanja subsidi dan belanja bantuan sosial sebenarnya juga termasuk “belanja rutin”. Selama kondisi sosial masyarakat tidak banyak berubah, seperti yang terjadi selama 10 tahun terakhir ini, maka kebutuhan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial juga masih sama saja.

Bahkan, kondisi sosial selama lima tahun belakangan ini malah memburuk, sehingga belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya naik. Tetapi di era pemerintahan Jokowi malah dipangkas.

Kalau belanja subsidi atau bantuan sosial dikurangi hanya untuk membiayai penambahan jumlah kementerian yang membengkak, risikonya cukup besar. Daya beli masyarakat kelompok bawah akan turun drastis, dan tingkat angka kemiskinan akan naik.

 

*Penulis Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN)

Berita Terbaru

Apresiasi Kejagung, CERI Juga Minta Diperjelas Keterlibatan Eks Dirut Pertamina di Kasus Korupsi Pengadaan Minyak

11 July 2025 - 22:41 WIB

Ilustrasi 5 kasus korupsi di Pertamina. (Indonesiawatch.id/Dok. Pertamina)

Diam adalah Emas, Tak Berlaku bagi Presiden Prabowo

11 July 2025 - 16:19 WIB

Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen).

Silfester, Potret Jokowisme Mixed Political Art

9 July 2025 - 10:15 WIB

Silfester Matutina dan Jokowi (Foto: Antara).

Lain Beathor Lain Armando Inilah Potret Politik Berhala

5 July 2025 - 10:59 WIB

Sri Radjasa MBA, Pemerhati Intelijen

Harga Robot Anjing Polisi Rp3 Miliar, di E Commerce Cuma Rp246 juta

5 July 2025 - 10:49 WIB

Populer Berita Ekonomi