Penulis Opini: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
Jakarta, Indonesiawatch.id – Bank Dunia mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas pada 2023, setelah mencapai gross national income atau GNI (pendapatan nasional bruto) sebesar US$ 4.580 per kapita. Dengan tolok ukur di atas, mengacu pada pengeluaran US$ 6,85 per kapita per hari atau setara pengeluaran Rp 115.080 per orang per hari, sehingga jumlah penduduk miskin di Indonesia setara 60,3% dari total penduduk atau setara dengan 171,91 juta jiwa.
Persoalan kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar Bank Dunia, seyogianya menjadi perhatian pemerintahan presiden Prabowo, bukan ditepis dengan berbagai narasi pembelaan oleh institusi pemerintah. Ketika berbicara soal kemiskinan di Indonesia, lebih tepatnya jika menggunakan diksi dimiskinkan.
Hal ini akan memberi gambaran yang lebih komprehensif soal kemiskinan di Indonesia. Indonesia adalah sebuah wilayah, ibarat surga yang diturunkan Tuhan ke dunia, tidak berlebihan jika kekayaan alam Indonesia disebut sebagai untaian ratna mutu manikam.
Di saat menyongsong kemerdekaan Indonesia ke 80, satu hal yang tidak berubah sejak Indonesia merdeka yaitu kemiskinan dan rakyat semakin tersisih, hanya sebagai objek dari proses pembangunan. Ironinya pemerintah yang berkuasa lebih nyaman menjadi kacung asing, oligarki dan taipan, penegakan hukum menjadi alat represif untuk kepentingan politik dan profit, korupsi tidak sekedar menjadi budaya, tapi sudah dijadikan ibadah fardu ain oleh para pemangku kebijakan dari tingkat daerah sampai pusat.
Fenomena kemiskinan di Indonesia, bukan semata-mata sebagai lemahnya usaha rakyat sebagai individu, untuk merubah nasibnya, tetapi akibat buruknya kualitas mental para pemangku kebijakan yang mengumbar syahwat duniawi. Kondisi faktual selama periode 10 tahun kekuasaan Jokowi, nawacita cuma slogan kosong dan tipu muslihat politik yang berakhir menjadi dukacita.
Rakyat tidak hanya kehilangan akses terhadap lapangan pekerjaan, tetapi juga akses layanan kesehatan, pendidikan dan hukum yang berkeadilan. Kekayaan alam Indonesia telah dijadikan bancakan oleh pejabat negara berkolaborasi dengan oligarki tambang. Itulah sebabnya di wilayah-wilayah dengan kekayaan alam melimpah, dapat dipastikan rakyatnya melarat dan rusaknya lingkungan, akibat regulasi pertambangan disiasati.
Kasus kemiskinan di Indonesia adalah potret tata kelola negara yang salah urus. Oleh sebab itu, kemiskinan struktural yang diderita rakyat dihadapkan oleh kekayaan alam yang melimpah, patut disebut sebagai kejahatan negara terhadap rakyatnya. Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, adalah pihak yang wajib bertanggung jawab atas anak bangsa yang kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak, agar dapat merubah nasibnya.
Selain didera oleh kemiskinan, rakyat kecil harus menerima nasib tersisih secara hukum, akibat mahalnya keadilan bagi rakyat. Disisi lain, rakyat selalu dieksploitasi demi kepentingan penguasa, seperti program ambisius swasembada pangan, sementara nasib para petani terus tergerus menjadi kelompok termarjinalkan dalam struktur sosial. Hari ini tidak satupun anak-anak Indonesia yang bercita-cita menjadi petani, alasannya cukup rasional karena tidak ingin miskin.
Notes: Opini atau tulisan ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab penulis