Jakarta, Indonesiawatch.id – Merujuk kepada pemikiran Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad yang dituangkan dalam buku Acehnologi adalah sebuah karya monumental yang menggali kedalaman peradaban, kebudayaan, sejarah, dan kearifan lokal Aceh.
Memahami landscape kebudayaan aceh yang merupakan bagian penting dari peradaban Aceh, dipengaruhi dari letak geografi Orang Aceh yang tinggal di tepi sungai, memiliki budaya yang berbeda dengan orang Aceh yang tinggal di pesisir. sehingga karakteristik orang aceh amat kompleks dan memiliki budaya yang cosmopolitan.
Cara berpikir orang aceh yang merefleksikan format anomaly, karena ada pertarungan antara tradisi dan modernisasi. Cara berfikir orang aceh dibentuk oleh pengalaman lama berkonflik, sering dikecewakan dan kerap menjadi korban adu domba, sehingga orang aceh tidak cepat percaya akan hakekat sebuah keadaan.
Di sisi lain orang Aceh kerapkali mengedepankan respons kreatif terhadap hal-hal keseharian. Hal ini dapat diamati di kedai kopi, ketika orang Aceh nonton acara berita, selalu terjadi respons kreatif atas berita yang sedang ditonton. Perlu juga dipahami basis tingkah laku orang Aceh yang mengedepankan aspek spiritual, intelektual dan amal.
MoU Helsinki sebagai momentum sejarah berakhirnya konflik aceh yang berlangsung puluhan tahun dan memasuki era baru Aceh hidup tanpa musuh bersama. UUPA sebagai implementasi MoU Helsinki, lahir sebagai variable baru dalam ketata negaraan Indonesia dan menjadi bukti legal kekhususan Aceh yang harus dikawal sebagai reprentasi budaya, adat istiadat, kekayaan alam dan kedaulatan rakyat Aceh.
Kebudayaan sebagai pondasi peradaban Aceh, seyogyanya harus mendapat ruang dalam UUPA, mengingat perannya sangat strategis dalam membangun karakter sebuah entitas. Tetapi hari ini, perdamaian Aceh telah melahirkan budaya materialistic, kemudian memberi kontribusi lahirnya kesenjangan yang tajam dalam strata social masyarakat Aceh.
Fenomena budaya materialistik yang sebelumnya tidak dikenal dalam peradaban Aceh, memberi implikasi terhadap prilaku pemimpin Aceh yang korup dan menggerus tradisi Aceh yang sacral.
Guna menyikap kerawanan terhadap masa depan Aceh, Budayawan Aceh Din Saja, mendesak Gubernur Aceh terpilih Mualem, untuk merumuskan konsepsi “membangun akal dan hati rakyat aceh yang inovatif, produktif, kosmopolit, transformative dan humanis” dalam rangka menjaga peradaban aceh yang bermartabat, sebagai warisan indatu.
Kebudayaan adalah nilai fundamental untuk membangun identitas rakyat aceh yang saat ini sedang dihadapkan oleh perang melawan diri sendiri. Mengutip kalimat teladan DR Teungku Hasan Muhammad Di Tiro “senjata itu perkara kecil bagi suatu gerakan kemerdekaan. Jika kemerdekaan itu tidak jua dimiliki aceh, maka bukan karena senjata, tapi karena orang aceh tidak paham sejarah dan budaya mereka.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Aceh