Jakarta, Indonesiawatch.id – Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) cenderung setuju mendukung moratorium smelter nikel. Hal ini disampaikan Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I), Haykal Hubeis, baru-baru ini.
Menurut Haykal, saat ini feronikel sudah melewati batas suplai. Karena itu pembangunan smelter yang memproduksi feronikel harus dimoratorium. Bahkan, Haykal menilai, feronikel masih akan membanjiri pasar ke depan.
Baca juga:
Ada Program Hilirisasi, Dirut MIND ID Malah Ajak DPR Moratorium Smelter Nikel
“Karena perizinannya untuk yang [smelter] feronikel, masih ada yang belum produksi, atau sedang dalam proses perencanaan, tapi mereka sudah melakukan pembelian lahan atau pesan equipment dan sebagainya,” ujarnya kepada Indonesiawatch.id, beberapa hari lalu.
Di sisi lain, karena produksi feronikel tidak dibatasi, nikel ore di Indonesia terus berkurang. “Jadi antara suplai dan demandnya itu sudah tidak balance lagi. Maka dari dulu saya selalu mengatakan raw material balance. Raw material balance ini hanya bisa ditentukan oleh sisi pemerintah, bukan oleh sisi smelter,” katanya.
Haykal mengatakan bahwa raw material balance saat ini belum ada di Indonesia. Padahal di banyak negara, sumber daya alam dan cadangannya sudah terdata dengan baik, sehingga neraca produk mentah mereka lebih pasti.
“Jadi saat investor masuk ke hilirisasi, ke smelter, negara itu sudah tahu, umur smelter yang ini nanti 15 tahun, yang itu 20 tahun. Ketersedian raw materialnya sudah fix bahwa dia bisa mengolah kadar segini, tonasenya segini. Jadi smelter hanya fokus pada masalah yang berkaitan dengan proses produksinya mereka saja,” katanya.
Di Indonesia, penerapan raw material balance tidak berjalan. Akibatnya, feronikel kelebihan pasokan di pasar, yang membuat harganya jatuh. Di sisi lain, pasokan bahan baku nikel terus berkurang.
“Hilirisasi supaya investor masuk, tapi dia tidak dapat bahan baku, mau gimana. Apa ada jalan yang lain selain moratorium. Bahkan ada smelter yang jadinya impor nikel ore dari negara tetangga. Dan itu sudah dijalankan beberapa perusahaan smelter nikel yang ada di tanah air,” ujarnya.
Menurutnya, banyak smelter feronikel generasi pertama berkapasitas besar. Sehingga, smelter-smelter baru kesulitan mencari nikel ore, karena nikel ore dalam negeri kebanyakan diolah oleh smelter besar tersebut.
“Puluhan line dan kebutuhan ore mereke [smelter generasi pertama] banyak sekali. Dan itu menyerap cukup banyak tambang-tambang yang ada di pusaran nikel di tanah air di beberapa daerah. Makanya yang smelter baru-baru kesulitan mendapat bahan baku,” ujarnya.
Kondisi ini menyebabkan para industri smelter saling memperebutkan bahan baku. “Sementara pemerintah menurut saya abai memberikan kepastian, raw material balance berpaa banyak. Terus harus dibagi bagiamana, dan pemerintah juga tidak mengidentifikasi seberapa besar kebutuhan atas nikel. Seberapa mampunya suplier itu bisa mensuplai kebutuhan mereka. Itu tidak terdefenisi dengan baik,” ujarnya.
[red]