Ancaman Pengkhianat Bangsa CBA: Pertamina Patra Niaga Diminta Jangan Tutup-Tutupi Pemain Gas Elpiji Melon BPMA untuk Rakyat Aceh, Bukan Tangan Oligarki Tambang Migas Guru Besar UIN Jakarta Apresiasi Prestasi Indonesia dalam MTQ Internasional Larangan Pengecer Jual LPG 3 Kg, Mematikan Usaha Akar Rumput Sistem Pertahan & Keamanan Rakyat Semesta: Filosofi Bela Negara atau Bela Oligarki Taipan

Opini

Mengkaji Penyediaan Tiga Juta Rumah Program Unggulan Prabowo

Avatarbadge-check


					Ilustrasi Program Perumahan Nasional (Doc. Kementerian PUPR) Perbesar

Ilustrasi Program Perumahan Nasional (Doc. Kementerian PUPR)

Mengkaji Penyediaan Tiga Juta Rumah Program Unggulan Prabowo

Oleh:

Carmelo Ferlito dan Chandra Rambey*

 

Rencana Pemerintahan Prabowo untuk menyediakan perumahan terjangkau kepada rakyat disambut harap-harap cemas oleh berbagai pihak—tidak hanya masyarakat yang berharap (konsumen) akan tetapi juga pelaku industri perumahan (real estate developer). Prabowo merencanakan akan membangun 3 juta unit rumah terjangkau per tahun selama masa jabatannya. Di mana 2 juta rumah akan di bangun di daerah pedesaan dan 1 juta unit akan dibangun perkotaan. Dari perspektif industri perumahan (real estate) program ini bertujuan untuk mengatasi backlog perumahan Indonesia yang berada pada kisaran 12,7 juta rumah.

Sejatinya, Program Pembangunan Rumah Nasional atau sering disebut National Housing Program (NHP) bukan hal baru, baik di Indonesia maupun di negara lain, sebut saja Malaysia dan Singapura misalnya. Malaysia, pada 2018 berencana membangun 1 juta rumah terjangkau sebagai janji kampanye Koalisi Malaysia. Program-program seperti ini pada dasarnya baik, namun program seperti ini lebih sering tidak tercapai kalau tidak elok dikatakan pasti gagal. Hal ini terjadi tentu dengan beberbagai alasan, tulisan ini mencoba memberikan pandangan pengembangan NHP dari dua perspektif, yaitu;

  1. Kepemilikan Rumah karena Ketidakmampuan (“kemiskinan”)
  2. Pasokan Rumah (supply side)

Mari kita mulai dengan ketidakmampuan masyarakat memiliki rumah yang disebakan oleh tingkat kemiskinan. Proyek-proyek ambisius untuk perumahan terjangkau (affordable house) pada umumnya diluncurkan untuk memberikan solusi mengatasi ketidakmampuan masyarakat memiliki rumah, akan tetapi hanya dengan mengidentifikasi kepemilikan rumah dan dengan mengetahui tingkat kemiskinan serta mengestimasi alokasi cicilan untuk menyicil asuran kredit perumahan seolah-olah sudah mempunyai perencanaan untuk mengatasi kemampuan masyarakat untuk membeli rumah dan turut mengentasi masalah kemiskinan itu sendiri.

Hal seperti ini hanya bisa dianggap sebagian benar, tanpa pendekatan yang lebih umum dan komprehensif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan cara yang berkelanjutan bukan hanya melalui subsidi, namun meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang terbuka, merata, dinamis, dan berorientasi pasar diperkirakan Penyediaan Rumah Terjangkau (affordable house) atau NHP akan sulit untuk sustain dan pada akhirnya akan menjadi komoditas politik musiman untuk mencari popularitas semata.

Membangun perumahan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin tidak berarti memberikan penyelesaikan kemiskinan itu sendiri atau seolah membuat mereka terlihat tidak terlalu miskin, namun kenyataannya hanya mengubah mereka menjadi miskin dengan batas di atas kepala mereka saja.

Tujuan sebenarnya dari pengentasan kemiskinan bukanlah transfer barang modal atau pendapatan, melainkan mendorong mobilitas sosial atau lapangan kerja melalui peningkatan aktivitas perekonomian atau membiarkan perekonomian bertumbuh sehingga pendapatan meningkat dan dengan pendapatan yang lebih tinggi masyarakat dapat memutuskan apakah mereka ingin membeli rumah atau tidak.

Yang menarik adalah secara data statistik, rasio kepemilikan rumah di Indonsia dibandingkan dengan negara lain cukup baik, menurut statistika, pada tahun 2023, sekitar 79 persen rumah tangga perkotaan di Indonesia tinggal di unit rumah yang mereka miliki, sementara sekitar 92 persen rumah tangga pedesaan di Indonesia tinggal di unit rumah yang mereka miliki.

Oleh karena itu, rencana ambisius tersebut perlu disinkronisasi dengan data yang ada jangan sampai nanti rencana Pembangunan rumah terjangkau (affordable house) salah sasaran secara konseptual, karena tidak didukung oleh data yang baik.

Poin kedua adalah ketersediaan perumahan terjangkau atau kemampuan melakukan pembangunan dari rencana NHP Presiden Prabowo. Biasanya ada dua hal yang sering menjadi perdebatan atau diskusi dalam hal penyediaan rumah terjangkau, yaitu: (pertama) antara mereka yang menganggap pemerintah tidak mampu membangun rumah dalam jumlah besar dan (kedua) mereka yang berpendapat bahwa Pemerintah perlu melakukan Pembangunan Rumah Terjangkau karena sektor swasta tidak mau dan mampu melakukannya.

Kedua pendapat tersebut dinilai kurang tepat, secara teknis di sisi penyediaan rumah (supply side) pada dasarnya tidak pernah menjadi masalah, karena kapasitas tambahan selalu bisa dilakukan, masalahnya bukan pada pembangunan 3 juta rumah, melainkan apakah pasar membutuhkan rumah dalam jumlah sebesar itu, dengan fitur-fitur yang direncanakan dan ditawarkan pada harga tertentu, serta dengan lokasi-lokasi tertentu apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat konsumen.

Pada hakikatnya pengembangan perumahan dilihat dari lokasi, tipe dan harga adalah lebih menjadi pengetahuan pengembang atau pelaku industri (developer). Pengetahuan seperti ini bisa dikatakan tidak dimiliki oleh pemerintah, bukan hanya pemerintah Indonesia bahkan pemerintah mana pun. Hal ini karena memahami kondisi pasar adalah jenis pengetahuan yang muncul dari pasar itu sendiri yang diperoleh pengusaha real estate atau pengembang perumahan melalui pengalaman panjang di industri real estate. Pada akhirnya mengetahui apa yang diinginkan, dibutuhkan dan kesesuaian serta kemampuan konsumen (pasar) adalah keahlian dan kompetensi dari wirausahawan di bidang perumahan. Secara alamiah penciuman dan sensitivitas pengembang akan lebih tajam melihat kemauan dan kemampuan pasar dari pada pihak mana pun yang tidak pernah beroperasi pasar perumahan (real estate market).

Menyadari hal seperti ini berarti mengakui ketidak mungkinan (aprioritas) bagi pemerintah untuk berhasil dalam proyek penyediaan rumah terjangkau (affordable house). Lebih jauh lagi, keputusan untuk melanjutkan pembangunan akan membawa kita ke poin berikutnya, yaitu fakta bahwa sektor swasta tidak akan menyediakan rumah-rumah tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pemerintah membatasi pasokan swasta melalui intervensi langsung atau melalui peraturan yang berlebihan misalnya harga yang dibatasi, lokasi atau kawasan yang diberikan ijin yang mengakibatkan terkendalanya swasta memberikan pasokan ke pasar.

Hal lain yang ingin disampaikan pada tulisan ini adalah mengajak semua stakeholder perumahan untuk memperluas refleksi mengenai keterjangkauan rumah di luar kriteria finansial saja; pada kenyataannya, keterjangkauan finansial bisa menjadi pertanda adanya kesulitan di suatu wilayah. Baru-baru ini, Pusat Pendidikan Pasar (Center for Market Education/CME) mengeluarkan indeks baru yang memasukkan unsur-unsur sosial seperti kesempatan kerja dan konektivitas ke dalam penghitungan keterjangkauan. (https://marketedu.me/cme-cme-researchers-developed-a-new-index-to-measure-home-affordability/).

Kesimpulannya adalah, kita percaya bahwa tugas utama pemerintah bukanlah mengubah dirinya menjadi penyedia perumahan (real estate developer), namun menjadi perancang kebijakan dan pelaksana serangkaian peraturan yang tepat yang akan memungkinkan perekonomian berkembang secara berkelanjutan – mendorong kewirausahaan dan kekuatan pasar.

Dengan demikian diharapkan akan memberikan dampak yang bermanfaat kepada semua masyarakat dan secara umum dapat membantu rumah tangga Indonesia memiliki rumah. Tentu dengan kebijakan Pemerintah yang tepat kita berharap Rumah Tangga Indonesia dapat memutuskan apakah mereka ingin menjadi pemilik rumah atau tidak, dan juga dapat memutuskan waktu yang sesuai untuk melakukan pembelian rumah sesuai dengan kemampuannya.

*Carmelo Ferlito merupakan CEO of the Center for Market Education (CME) dan Faculty Member at Universitas Prasetiya Mulya

*Chandra Rambey merupakan Vice-President of Real Estate Indonesia (REI) & President Center for Market Education Indonesia (CMEID)

Berita Terbaru

Ancaman Pengkhianat Bangsa

8 February 2025 - 05:07 WIB

BPMA untuk Rakyat Aceh, Bukan Tangan Oligarki Tambang Migas

7 February 2025 - 01:06 WIB

Kantor Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA).

Larangan Pengecer Jual LPG 3 Kg, Mematikan Usaha Akar Rumput

2 February 2025 - 21:03 WIB

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi (Foto: dunia-energi.com)

Sistem Pertahan & Keamanan Rakyat Semesta: Filosofi Bela Negara atau Bela Oligarki Taipan

1 February 2025 - 18:54 WIB

Amanat Presiden Prabowo Pada Rapim TNI-Polri, Warning Gagalnya Pegang Mandat Rakyat

31 January 2025 - 20:36 WIB

Populer Berita News Update