Jakarta, Indonesiawatch.id – Mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Karen Agustiawan menulis buku berjudul “Pertamina Untung Karen Agustiawan Buntung”. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat dan diluncurkan pada November 2024. Buku berisikan 106 halaman ini mengangkat tiga tema utama.
Pertama, kebijakan Pemerintah vs tuntutan hukum. Di mana Karen Agustiawan menekankan bahwa tindakannya adalah implementasi kebijakan energi nasional, bukan perbuatan melawan hukum.
Kedua, Business Judgment Rule (BJR). Di mana pengambilan keputusan dalam dunia korporasi, terutama di BUMN, diklaim sebagai bentuk tanggung jawab manajemen, bukan tindakan kriminal meskipun ada risiko dalam pelaksanaannya.
Ketiga, ketahanan energi nasional. Yakni, pentingnya LNG dalam mencapai target bauran energi dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi menjadi poin utama. Karen menekankan pada penghematan dan efisiensi yang dicapai melalui penggunaan gas dibandingkan bahan bakar minyak (BBM).
Dalam kapasitasnya sebagai penulis, Karen Agustiawan mengungkap pembelaan dan perjuangannya selama menjabat Dirut Pertamina 2009-2014 atas tuduhan yang dihadapinya terkait pengadaan LNG dalam jangka panjang oleh PT Pertamina. Tuduhan utama adalah dugaan korupsi yang melibatkan kerugian negara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karen Agustiawan berargumen bahwa keputusan pengadaan LNG ini sejalan dengan kebijakan pemerintah dan bersifat jangka panjang untuk mendukung ketahanan energi Indonesia.
Dalam buku yang ditulis Karen, banyak tokoh-tokoh nasional, hukum, praktisi dan akademisi yang turut berkontribusi memberikan kata sambutan. Di antaranya Jusuf Kalla, Todung Mulya Lubis, Luhut M.P. Pangaribuan, Hamdan Zoelva, Zulkarnain Sitompul, Kusmayanto Kadiman, Susilo Siswoutomo, Dian Puji Simatupang, Subani, Agus Salim, Syamsul Bachri Yusuf, dan Mohammad Bisri.
Karen dalam bukunya memaparkan bahwa tindakan tersebut telah mengikuti aturan yang berlaku dan didasari oleh kebutuhan nasional untuk ketahanan energi di tengah meningkatnya permintaan dan keterbatasan pasokan gas domestik.
Karen juga menegaskan bahwa proyek LNG dari Corpus Christi Liquefaction (CCL) ini sudah sesuai dengan arahan kebijakan nasional dan peraturan pemerintah, seperti Perpres dan Instruksi Presiden (Inpres).
Sejumlah fakta penting dan poin kunci diungkap dalam buku ini.
Pertama, Kebutuhan Infrastruktur: Agustiawan menyatakan bahwa Pertamina telah menjalankan mandat pemerintah dengan membangun Floating Storage Regasification Unit (FSRU) dan melakukan impor LNG untuk memenuhi kebutuhan energi karena gas dalam negeri mengalami penurunan suplai.
Kedua, Keputusan Berdasarkan Analisis Ekonomis: Pembelian LNG dari CCL dinilai ekonomis dibandingkan dengan alternatif lain pada waktu itu, dengan potensi keuntungan jangka panjang untuk negara.
Ketiga, Kontroversi Pengadaan tanpa Back-to-Back: Terkait tuduhan bahwa pengadaan LNG dilakukan tanpa kontrak pembelian langsung (back-to-back), ia menegaskan bahwa kebijakan ini lazim dan sesuai dengan praktik di industri migas.
Melalui buku ini, Karen mempertanyakan ketepatan perhitungan kerugian negara yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Terhitung akhir Desember 2023 Pertamina sudah meraup Keuntungan Kumulatif sebesar US$91,6 juta.
Fakta ini tidak dapat dibantah oleh siapapun. Ia juga menyebut bahwa saksi ahli yang dihadirkan tidak memahami sepenuhnya kompleksitas industri migas, khususnya terkait dengan kontrak jangka panjang dan teknis proyek LNG.
Buku ini memberikan wawasan bagi mereka yang tertarik pada interseksi antara hukum korporasi dan kebijakan energi nasional. Pembaca dari kalangan profesional hukum, praktisi energi, hingga masyarakat umum yang ingin memahami kompleksitas pengelolaan energi di Indonesia dapat memperoleh wawasan terkait tantangan dan potensi risiko dalam mengambil keputusan strategis di BUMN.
[red]