Meski IKN Bersolek, Jangan Abaikan Metropolitan Lain
Oleh: Alfian Banjaransari*
Di tengah gegap gempita pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang baru di Kalimantan, kita hendaknya tidak mengabaikan kebutuhan mendesak kawasan metropolitan lain yang sudah lebih dulu ada, semisal: Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Makassar, dan lainnya. Betapa tidak, kawasan-kawasan urban ini merupakan pusat perputaran ekonomi nasional, yang keberlanjutannya sangat penting bagi masa depan Indonesia.
Sebagai contoh, Jabodetabek dipenuhi dengan setidaknya 23 juta kendaraan milik pribadi. Tentu hal ini menciptakan tantangan serius berupa kemacetan lalu lintas dan polusi udara. Penelitian menunjukkan bahwa pengguna mobil di kawasan ini menghabiskan rata-rata 225 jam per tahun di jalan, dengan 117 jam di antaranya terjebak dalam kemacetan! Ditengarai, hal ini juga mengakibatkan kerugian ekonomi hingga US$36 triliun setiap tahun—dana yang seharusnya dapat dialokasikan untuk infrastruktur dan layanan publik yang lebih baik.
Dampak lingkungan dan kesehatan juga sangat memprihatinkan. Kualitas udara di kawasan metropolitan di Indonesia secara rutin melebihi batas aman, yang berkontribusi terhadap ribuan kematian dini setiap tahunnya. Adapun EV (electronic vehicle) yang meskipun penggunaannya mengurangi emisi CO2, malahan meningkatkan polutan lain seperti sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) dibandingkan mobil bensin. Ini menunjukkan bahwa transisi ke EV saja tidak cukup untuk mengatasi masalah polusi perkotaan. Diperlukan pendekatan komprehensif yang mencakup pengembangan transportasi umum yang efisien dan perencanaan kota berkelanjutan.
Baru-baru ini laporan “Sebuah Agenda Inovasi Untuk Pemerintah Indonesia” yang dirilis Center for Market Education (CME), yang ditulis bersama dengan Chandra Rambey dari Real Estat Indonesia (REI), menyoroti kompleksitas masalah urban ini sembari mengajukan solusi inovatif.
Tidak seperti IKN yang dibangun dari nol, wilayah-wilayah metropolitan di Indonesia sudah hidup dan bergeliat sejak puluhan tahun silam, dengan berbagai fasilitas penunjang yang sudah ada. Karenanya, laporan CME mengangkat gagasan Smart Transit City (STC) dan Entrepreneurial Rail Model (ERM), yang pada intinya mengintegrasikan transportasi umum dengan pengembangan lahan, didorong oleh investasi sektor swasta.
STC adalah konsep kota yang menggunakan teknologi cerdas untuk mengoptimalkan dan menghubungkan berbagai moda transportasi, seperti kereta api dan bus, untuk menciptakan mobilitas yang lebih efisien, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, dan meningkatkan kualitas hidup warga.
Sementara itu, ERM adalah pendekatan di mana pengembang swasta tidak hanya mendanai tetapi juga terlibat langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan infrastruktur transportasi. Model ini menggunakan keuntungan dari pengembangan lahan di sekitar proyek untuk mendanai infrastruktur, sehingga mengurangi beban finansial pemerintah dan menjadikan pengembang swasta mitra aktif dalam menciptakan kota yang lebih berkelanjutan dan responsif terhadap pasar.
Bagi megapolitan seperti Jakarta dan Surabaya, hal ini berarti berkurangnya kemacetan, udara yang lebih bersih, dan kualitas hidup yang lebih baik bagi warganya. Model ini tidak hanya mengurangi beban finansial pada pemerintah tetapi juga memastikan bahwa proyek pembangunan responsif terhadap pasar dan memiliki perspektif keberlanjutan.
*Penulis merupakan Country Manager dari Center for Market Education Indonesia (CME-ID)