Jakarta, Indonesiawatch.id – Leadership style Presiden Prabowo yang kental dengan ciri tentara, memberi konsekuensi munculnya berbagai rumor, akan kembalinya kebijakan otoriter. Fenomena kepemimpinan otoriter di awal pemerintahan Prabowo, menjadi kecemasan berbagai kalangan.
Misalnya saat Mayor Teddy dilantik sebagai Seskab, tanpa harus pensiun dari dinas militer. Padalah hal tersebut dianggap melanggar kepatuhan terhadap ketentuan Pasal 47 Ayat 1 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Penempatan Mayor Teddy, dipandang sebagai langkah penebalan posisi prajurit TNI, pada jabatan sipil yang menabrak UU TNI dan proses reformasi TNI akan mengalami stagnan. Reformasi TNI sejatinya sebuah konsekuensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibat perubahan besar politik nasional, untuk mewujudkan orde reformasi sebagai ketetapan moral baru. TNI dengan jati diri sebagai Tentara rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional, tunduk kepada keputusan politik Negara, telah dibuktikan dengan dihapusnya dwi fungsi TNI, larangan TNI berbisnis dan menduduki jabatan sipil serta pemisahan Polri dari TNI.
Oleh sebab itu, penempatan Mayor Teddy sebagai Seskab, perlu dikaji ulang, tetapi amat berlebihan jika dipandang akan berdampak stagnasi reformasi TNI. Sejauh ini sebagai Prajurit Sapta Marga, TNI sebagai elemen utama pertahanan negara, telah mengambil langkah besar, untuk mengimplementasikan refomasi internal, guna menyelaraskan dengan arah politik nasional di era reformasi.
Fenomena reformasi TNI, seyogyanya perlu disikapi secara proporsional, tanpa dipengaruhi dendam politik masa lalu, sehingga memposisikan TNI sebagai musuh bersama. Reformasi TNI saat ini, sesungguhnya telah mencabut TNI dari akar sejarahnya sebagai militer yang lahir dari rakyat, memposisikan TNI disisihkan dari rakyat.
Alih-alih meningkatkan profesionalisme TNI, reformasi TNI yang beraroma dendam politik, telah merambah kepada upaya pemasungan tugas TNI secara sistematis, sebagaimana diamanatkan UUD 45, untuk menjaga ketertiban dan keamanan Negara.
Hal tersebut terlihat dalam penanganan separatism, terorisme dan kelompok insurjen lain yang merupakan kejahatan terhadap Negara dan dilakukan oleh kekuatan bersenjata, dengan tingkat eskalasi kerawanan yang dapat mengancam kedaulatan Negara, telah dialihkan menjadi domain tugas polisi, dengan pendekatan operasi Kamtibmas.
Jika reformasi TNI sejatinya sebagai koreksi terhadap kekuasaan TNI yang mengakibatkan terjadinya pemerintahan otoriter, tetapi tidak diarahkan untuk melokalisir TNI dari dinamika kehidupan berbangsa bernegara, mengakibatkan semakin menjauhkan dari semangat reformasi untuk meningkatkan profesionalisme TNI sebagai komponen utama sistem pertahanan negara.
Dihadapkan oleh perkembangan ancaman global yang semakin multidimensional, profesionalisme TNI tidak melulu bertumpu pada kemampuan menangkal invasi militer asing, tetapi juga dituntut mampu menangkal ancaman non-militer yang berdimensi ideologi, sosial budaya, ekonomi, teknologi informasi, yang berpotensi mengancam kedaulatan, keutuhan dan keselamatan bangsa.
Oleh karenanya reformasi TNI, tidak dijadikan alat politik untuk melokalisir peran TNI yang mengakibatkan lemahnya daya tangkal TNI, terhadap ancaman non-militer.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen