Pengentasan Kemiskinan dengan Gerakan Berantas “Buta Finansial”
Oleh: Wibisono
Program pemerintahan Prabowo-Gibran salah satunya pengentasan kemiskinan. Sehingga ada utusan khusus presiden dalam bidang pengentasan kemiskinan.
Menurut data statistik, persentase penduduk miskin Maret 2024 turun menjadi 9,03 persen.
Persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen, menurun 0,33 persen poin terhadap Maret 2023 dan menurun 0,54 persen poin terhadap September 2022.
Jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 25,22 juta orang, menurun 0,68 juta orang terhadap Maret 2023 dan menurun 1,14 juta orang terhadap September 2022.
Persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2024 sebesar 7,09 persen, menurun dibandingkan Maret 2023 yang sebesar 7,29 persen. Sementara itu, persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2024 sebesar 11,79 persen, menurun dibandingkan Maret 2023 yang sebesar 12,22 persen.
Dibandingkan Maret 2023, jumlah penduduk miskin Maret 2024 perkotaan menurun sebanyak 0,1 juta orang (dari 11,74 juta orang pada Maret 2023 menjadi 11,64 juta orang pada Maret 2024).
Sementara itu, pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin perdesaan menurun sebanyak 0,58 juta orang (dari 14,16 juta orang pada Maret 2023 menjadi 13,58 juta orang pada Maret 2024).
Dari data statistik di atas, maka diperlukan suatu program yang konkret untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia. Pertanyaannya, untuk pengentasan kemiskinan, negara atau rakyatnya yang harus kaya duluan? Kalau kita menganut prinsip ekonomi, tentunya negara harus kaya duluan baru bisa menolong rakyatnya yang miskin.
Padahal saat ini negara kita belum kaya, dan masih tergantung dengan utang luar negeri. Oleh karena itu, untuk memberantas kemiskinan harus ada suatu gerakan, yakni “Gerakan Berantas Buta Finansial”, seperti dulu di zaman Orde Lama dan Orde Baru untuk berantas buta aksara dengan gerakan berantas buta huruf dengan program wajib belajar 9 tahun.
Apa itu gerakan buta finansial? Suatu gerakan yang memakai dasar prinsip ekonomi, yakni pemasukan untuk negara yang sebesar besarnya tapi pengeluaran se-efisien mungkin, sehingga negara kita tidak besar pasak daripada tiang.
Seperti hemat belanja negara, dengan hemat belanja barang, pembangunan infrastruktur dengan investasi dari swasta (bukan dari APBN), seperti pernyataan presiden Prabowo untuk berhemat biaya anggaran perjalanan keluar negeri, seminar dan lain lainnya.
Maka dari itu, selayaknya negara juga harus menerapkan prinsip ekonomi sesuai pasal 33 dan sila ke 5 Pancasila. Dengan memperkuat koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa, percepat swasembada pangan, dan kurangi impor, serta perbanyak ekspor.
Dengan demikian, negara akan surplus APBN dan bisa menolong rakyatnya yang miskin, sehingga program bansos dan BLT-pun bisa tepat sasaran, maka cita cita Indonesia menjadi negara maju Indonesia emas 2045 akan terwujud.
*Penulis pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN)