Jakarta, Indonesiawatch.id – Masaaki dan Rozaki menyatakan, penggunaan kekerasan non-negara di Indonesia terus terjadi. Bukan karena negara secara sengaja melakukan pembiaran, tetapi karena kenyataan para elite politik dan ekonomi, mengandalkan kekerasan tersebut.
Dengan tujuan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan kepentingan sektoral. Spesialis kekerasan non-negara, hadir dalam format dan perwujudan lokal seperti, ormas vigilante, geng, keamanan swasta, preman dan centeng.
Baca juga:
Premanisme Politik di Ujung Jabatan Jokowi
Selepas berakhirnya kekuasaan otoriter Suharto selama 32 tahun, hadir orde reformasi yang mengusung demokrasi, penerapan elektoral multi partai, Pemilu langsung presiden dan anggota legislatif. Di samping itu, peran militer surut dalam politik serta program desentralisasi.
Fenomena reformasi yang mengedepankan politik elektoral demokratis, justru menumbuhsuburkan kelompok preman, sebagai spesialis kekerasan non-pemerintah, menjual jasa layanan kekerasan kepada kliennya seperti partai politik, aktor politik dan oligarki serta pemangku kebijakan.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana mungkin iklim demokrasi akan tumbuh, di tengah budaya politik yang melegitimasi kekerasan untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan.
Kasus pembubaran paksa acara diskusi diaspora Indonesia, oleh sekelompok preman, adalah bentuk penggunaan spesialis kekerasan non-pemerintah, untuk meredam kekuatan oposisi, dalam rangka melanggengkan hegemoni kekuasaan politik maupun ekonomi.
Oleh sebab itu, tidak sulit untuk mengungkap aktor intelektual dibalik aksi premanisme tersebut. Terlebih lagi tindakan aparat keamanan polisi yang mengabaikan standar operasional prosedur, terhadap para preman yang sudah terbukti melakukan tindak pidana perusakan dan pembubaran kegiatan legal.
Bahkan beberapa tayangan video, menunjukan adanya gestur yang mengisyaratkan kerjasama antara preman dan polisi.
Penggunaan agen kekerasan non-pemerintah oleh penyelenggaran negara dan oligarki, semata-mata demi melanggengkan kekuasaan politik dan ekonomi. Hal ini tidak saja mengkhianati tujuan reformasi dengan jargon demokrasi.
Pada kenyataannya adalah tindakan extra ordinarycrime yang berpotensi memicu konflik sosial yang mengancam stabilitas nasional serta merusak martabat bangsa Indonesia di fora internasional.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen