Jakarta, Indonesiawatch.id – Jelang akhir kekuasaan Jokowi dari kursi Presiden, muncul fenomena baru beraroma premanisme. Misalnya ketika Amien Rais mengabarkan melalui kanal Youtubenya, akan ada apel akbar pasukan berani mati bela Jokowi, di sekitar patung kuda pada 22 September 2024.
Kemudian pada 27 September 2024, muncul sejumlah orang yang menamakan “pasukan bawah tanah bela Jokowi” melaporkan Roy Suryo ke Polda Metro Jaya, karena pernyataannya soal Fufufafa 99,9% milik Gibran.
Baca juga:
Menebak Dukungan Jokowi: Pramono atau Ridwan Kamil
Selanjutnya pada 28 September 2024, terjadi aksi kelompok preman membubarkan secara paksa, diskusi diaspora Indonesia yang dihadiri sejumlah tokoh sipil dan Purnawirawan TNI.
Dihadapkan oleh kecemasan Jokowi jelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden, akibat semakin kuat tuntutan untuk mengadili Jokowi paska lengser dari kursi Presiden, maka rentetan peristiwa diatas, patut diduga sebagai peristiwa yang dilakukan secara terstruktur dan terencana.
Tujuannya untuk menciptakan terror kepada pihak-pihak yang selama ini, bersebrangan dengan Jokowi. Dari sumber yang dipercaya, pembubaran secara paksa diskusi diaspora Indonesia yang dihadiri tokoh oposisi papan atas, seperti Din Syamsudin, Refly Harun, Said Didu dan Mayjen Purn Sunarko, adalah sasaran terpilih dan terukur untuk menciptakan terror.
Dengan pesan “kalau tokoh oposisi papan atas saja bisa diusir, maka yang lain harus berhati-hati”. Kehadiran Said Didu dan Refly Harun yang selama ini gencar, menolak Proyek Strategis Nasional PIK 2, dapat dijadikan petunjuk awal, untuk menunjuk batang hidung aktor pendana aksi preman tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum, perilaku pengembang PSN PIK 2, adalah salah satu naga yang kerap menggunakan preman dalam bisnisnya. Ada yang menarik dari aksi preman menghentikan secara paksa diskusi diaspora Indonesia, yaitu ketidakmampuan pihak kepolisian meredam aksi tersebut.
Padahal fakta di lapangan jumlah polisi lebih banyak dari para preman. Kemudian hasil rekaman video paska aksi, terlihat salah seorang pelaku aksi berangkulan dan salaman dengan petugas polri.
Menurut Edy Mulyadi wartawan FNN, ada oknum polisi yang mengucapkan selamat sukses dan terimakasih. Berdasarkan temuan di lapangan, sudah sepatutnya Kapolri memeriksa Kapolda, Kapolres dan Kapolsek di wilayah tersebut, atas dugaan membiarkan aksi kekerasan, terhadap kegiatan rakyat.
Setelah praktik politik sandera, dapat dilakukan secara efektif dan masif terhadap para pejabat negara, nampaknya praktik politik teror ala “premanisme”, sedang berlangsung untuk melumpuhkan gerakan oposisi.
Kekuasaan negara yang dijalankan tanpa akal sehat, tapi lebih mengedepankan pendekatan “akal-akalan”, tidak saja meluluhlantakan nasib rakyat Indonesia, tapi membuat martabat bangsa ini terpuruk dimata dunia.
Untuk melawan lupa kalangan pemangku kekuasaan Negara, bangsa ini ditempa oleh pengalaman pahit yang membentuk tekad “mati lebih terhormat, daripada harus hidup dibawah terror penguasa”.
Sri radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen