Jakarta, Indonesiawatch.id – Lagi-lagi Pemerintah Aceh ingkar terhadap semangat UU Pemerintahan Aceh. Di bagian ketiga Pasal 46 (1) UUPA disebutkan Gubernur/Bupati/Walikota dalam melaksanakan tugas memiliki kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Tetapi faktanya jauh panggang dari api. Bahkan telah terjadi pengkhianatan. Sebelumnya PJ Bupati Aceh Besar mengeluarkan rekomendasi Nomor : 540/1188 tanggal 20 Agustus 2024 kepada Koperasi Pinto Rimba, untuk mengurus izin usaha pertambangan rakyat seluas 499,9 Ha.
Baca juga:
Ulama dalam Pusaran Pilkada Aceh 2024
Tapi kemudian muncul rekomendasi PJ Bupati Aceh Besar untuk PT RAIN Tambang Bersaudara milik Tan Lim Hian, seluas 190 Ha diareal yang sama dengan lahan Koperasi Pinto Rimba. Tidak berhenti sampai di situ, PJ Bupati Aceh Besar juga mengeluarkan rekomendasi kepada PT Adi Karya Reksa seluas 209 Ha, dilahan yang sama dengan Koperasi Pinto Rimba.
Fenomena ketidakberpihakan Pemerintah Aceh, terhadap kesejahteraan rakyat di sektor pengelolaan sumber daya alam Aceh, akan berimbas terhadap kelangsungan damai Aceh yang merupakan pintu gerbang kesejahteraan rakyat Aceh.
Perdamaian Aceh sama sekali bukan karpet merah untuk para investor dan oligarki tambang, untuk menjarah kekayaan alam Aceh. Apakah belum cukup melihat penderitaan rakyat, akibat ulah para investor dan oligarki tambang di Provinsi lain di Indonesia.
Kebijakan investasi di sektor pengelolaan tambang, sangat tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat dan pelanggaran terhadap UUD 45 Pasal 33, karena investor memiliki hak mutlak terhadap hasil tambang, sementara pemerintah hanya menerima pajak, retribusi dan rakyat hanya menerima CSR. Akibatnya kemiskinan akut terjadi di wilayah wilayah kaya akan sumber daya alam.
Sebagai upaya melawan lupa, sesungguhnya konflik yang berlangsung selama 30 tahun, dengan pengorbanan dan derita amat besar rakyat Aceh, dipicu oleh ketimpangan distribusi hasil kekayaan alam Aceh.
Hari ini potret perdamaian Aceh, mulai diusik oleh eksekutif dan legislative Aceh yang hanya mengejar rente dari para investor dan oligarki tambang. Sementara rakyat hanya diberi ruang untuk mengais sisa-sisa kekayaan alam Aceh.
Kebohongan besar ketika para pemangku kebijakan di Aceh beralasan, lemahnya sumber daya manusia di Aceh untuk mengelola sumber daya alam, maka mereka mengundang masuknya investor tambang.
Justru realitanya adalah Pemerintah Aceh telah menjadi factor penghambat potensial, terhadap usaha-usaha rakyat untuk membuktikan bahwa rakyat Aceh memiliki skill mengelola kekayaan alam Aceh. Perdamaian Aceh adalah karunia Allah SWT untuk Aceh, jangan sampai sejarah Aceh mencatat, pemangku kebijakan di Aceh sebagai biang keladi pecahnya kembali konflik Aceh.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Aceh