Jakarta, Indonesiawatch.id – Potret panggung politik Aceh, tidak pernah surut. Selalu diwarnai oleh masuknya ulama dalam orbit aktivitas politik praktis, seperti Abi Lampisang Cagub Aceh pada Pilkada 2012.
Kemudian ada almarhum Tgk. Muhammad Yusuf A Wahab (Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan pimpinan pesantren Dayah Babussalam Al-Aziziyah di Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh), sebagai Cawagub Aceh pada Pilkada Aceh 2024, selanjutnya digantikan oleh Fadhil Rahmi, juga seorang ulama dan cendikiawan muslim, lulusan Univ. Al Azhar Mesir.
Baca juga:
Heboh Mba Rara di PON Aceh, Iskada: Kami Tak Terima Pawang Kemusyrikan!
Fenomena kiprah ulama Aceh dalam politik, memiliki sejarah panjang sejak masa kolonial hingga Indonesia merdeka. Dalam satu makalahnya Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, berjudul “Perpecahan Ulama dan kekuatan umat Islam di Aceh”.
Sejarah mencatat, pihak kolonial telah mewarisi “teori” memecahkan, sementara pihak pemerintah pusat mempertajam “teori” dengan pola pengrekrutan ulama dan distribusi bantuan kepada dayah, yang kemudian menciptakan kondisi ketergantungan mereka pada pemerintah.
Aceh juga mencatat sejarah kelam, disharmoni antara ulama dan ule balang yang berakhir dengan diasporanya kalangan Ule balang keluar Aceh. Pada periode penerapan Daerah Operasi Militer, TNI memanfaatkan kalangan ulama sebagai mediator ke kalangan masyarakat.
Tapi ulama tidak diperankan sebagai balance of interest antara TNI dengan masyarakat. Sebaliknya yang terjadi adalah ulama memperoleh berbagai fasilitas dari TNI, seperti distribusi sembako bahkan kendaraan operasional ulama. Tapi masyarakat semakin terpuruk secara ekonomi, hukum dan rasa aman.
Pasca Daerah Operasi Militer (DOM), dinamika kehidupan sosial politik, mengalami pergeseran signifikan, dimana ulama yang memperoleh fasilitas TNI, mulai dicap antek TNI.
Di era damai Aceh, nampaknya mulai muncul kesadaran kolektif ulama reformis, untuk tidak melulu menjadi alat politik dari kekuatan politik tertentu atau politik penguasa.
Ulama mulai mepelopori pembentukan partai local dan organisasi ulama, dalam rangka memberi ruang ulama menjadi aktor politik, untuk bertarung di arena pesta demokrasi Pilkada Aceh.
Fenomena politik ulama dalam pusaran Pilkada Aceh, disatu sisi akan membawa harapan baru bagi rakyat Aceh yang rindu pemimpin amanah, tapi disisi lain membuka peluang potensi konflik kalangan ulama, karena berbeda pilihan politik, apalagi saat ini di Aceh muncul komunitas ustadz (agamawan dari luar Aceh) yang berbasis di pesantren modern.
Keikutsertaan Fadhil Rahmi sebagai Cawagub Aceh pada Pilkada Aceh 2024, telah diposisikan sebagai representasi ulama, menggantikan almarhum Tu Sop, nampaknya mengadopsi strategi pemenangan Paslon Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019, sekedar mengemas citra pasangan islami, untuk merebut suara mayoritas kalangan muslim.
Jika kehadiran ulama di panggung politik Pilkada Aceh 2024, semata-mata hanya untuk mendongkrak perolehan suara salah satu paslon Cagub, tanpa disertai gagasan inovatif berbasis syariah, dalam rangka mengejar ketinggalan Aceh, akan memberi implikasi yang luas terhadap eksistensi ulama dimasa datang.
Politik Ulama adalah harapan rakyat Aceh, bukan Ulama Politik yang selama ini hanya menjadi perpanjangan tangan kekuatan politik atau penguasa, tapi tidak memiliki lobby yang kuat sebagai bargaining power ulama.
Radjasa MBA
-Pengamat Aceh