Jakarta, Indonesiawatch.id – Selama dua bulan berturut-turut, aktivitas manufaktur China menunjukkan lonjakan positif. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur China naik menjadi 51,5 di November 2024. Angka tersebut tertinggi sejak Juni seperti dikutip dari Caixin dan S&P Global (2/12).
Data tersebut menunjukkan bahwa pemulihan yang tidak merata sedang terjadi di seluruh perekonomian Asia. Indikator resmi aktivitas pada November hanya menunjukkan sedikit peningkatan di sektor manufaktur, sementara indeks konstruksi dan jasa secara tak terduga turun kembali ke level yang memisahkan kontraksi dari ekspansi.
Baca juga:
Tantangan Ekonomi Prabowo, PMI Manufaktur Anjlok, Angka PHK Naik
Dilansir dari survei Bloomberg, penyebab membaiknya manufaktur China karena adanya peningkatan ekspor. Ekspor China dinilai telah menopang ekonomi di 2024 ini.
Dimana pengiriman dalam tiga kuartal pertama melonjak ke nilai tertinggi kedua yang pernah tercatat. Lonjakan ini menempatkan China pada jalur untuk mencapai rekor surplus perdagangan yang bisa mencapai hampir US$1 triliun tahun ini.
Salah satu negara tujuan ekspor China adalah Indonesia. Berdasarkan data BPS terbaru, impor Indonesia paling besar berasal dari China.
Jika ditotal, sepanjang Januari-Oktober tahun ini, nilai impor produk dari China juga naik sebesar 13,29% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada Januari-Oktober 2024 nilai impor produk dari China sebesar USD 57,81 miliar.
Sebaliknya, PMI Manufaktur Indonesia malah terus terkontraksi. Hal ini menunjukkan Aktivitas manufaktur Indonesia memburuk dan kembali mengalami kontraksi di November 2024.
Selama lima bulan beruntun, PMI Manufaktur Indonesia mengalami koreksi. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (2/12) mencatat bahwa PMI manufaktur Indonesia terkontraksi ke 49,6 pada November 2024.
Seperti diketahui, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November 2024 (49,6).
Kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan kondisi manufaktur antara China dan Indonesia. Hal ini menggambarkan perdagangan antara China dan Indonesia, tidak saling menguntungkan.
[red]