Pak Bahlil, Masalah Impor Minyak Tidak Tergantung Beroperasinya RDMP Balikpapan Aceh Jadi Pusat Hilirisasi Gas Bumi dan Getah Pinus Pemerintah Siapkan Sejumlah Langkah ‎Antisipasi Bencana Cuaca Ekstrem di Jobodetabek Ditemukan Cadangan Gas Bumi di Sumur Geng North-1 Kaltim, SKK Migas: Jadi Game Changer ‎Eks Staf Ahli Anggota DPD Minta KPK Usut Dugaan Korupsi Mantan Bosnya Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian Terpusat di Sukabumi

Kesehatan

Prevalensi Perokok Tetap Tinggi, Pemerintah Perlu Adopsi Pendekatan Harm Reduction

Avatarbadge-check


					Ilustrasi Perokok (Doc. Pexels) Perbesar

Ilustrasi Perokok (Doc. Pexels)

Jakarta, Indonesiawatch.id – Pengendalian tembakau menjadi prioritas dalam pembangunan nasional Indonesia sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Pengendalian produksi, konsumsi, dan peredaran produk yang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat seperti produk hasil tembakau dilakukan dengan menerapkan cukai dan inovasi pajak serta pemanfaatannya untuk pembangunan kesehatan.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang baru saja dirilis oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa prevalensi perokok dewasa di Indonesia masih tetap tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Meski pemerintah telah menggulirkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi jumlah perokok, prevalensi merokok tetap di masyarakat tetap tinggi. Pertanyaannya, apakah pendekatan yang diambil kurang efektif?

Sebagai contoh, kebijakan cukai yang menarget konsumen rokok. Betapa tidak, dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan cukai tembakau di Indonesia terus meningkat secara signifikan. Sayangnya, peningkatan penerimaan ini tidak dibarengi dengan penurunan angka perokok yang signifikan.

Belum lama ini, Center for Market Education (CME) meluncurkan laporan bertajuk “Sebuah Agenda Inovasi Untuk Pemerintah Indonesia”. Salah satu isi dari laporan mengungkap fakta, meski penerimaan cukai tembakau meningkat rata-rata 5,4% per tahun selama delapan tahun terakhir, volume penjualan rokok hanya turun sebesar 1,1% dalam periode yang sama.

“Ini menunjukkan bahwa mekanisme perpajakan yang mengenakan tarif lebih rendah pada produk tembakau yang lebih murah, tidak efektif mendorong perokok untuk berhenti,” ujar CEO dari Center for Market Education, Carmelo Ferlito.

Ekonom senior itu menyebut, sudah waktunya Pemerintah Indonesia mempertimbangkan perspektif tobacco harm reduction sebagai bagian dari pengambilan kebijakan. Menurutnya, Indonesia dapat mencontoh negara-negara yang berhasil menurunkan prevalensi merokoknya seperti Inggris, Swedia, bahkan Filipina yang mengenakan kebijakan berbasis risiko.

Di mana produk-produk alternatif di negara tersebut seperti rokok elektrik dan vape dikenakan pajak yang berbeda dengan rokok konvensional, sesuai dengan risiko yang ditimbulkan. Menurut Carmelo, insentif finansial merupakan motivator penting bagi perokok untuk beralih ke alternatif yang lebih rendah risiko. Indonesia dapat memanfaatkan peluang inovasi yang masih terbuka lebar di sektor ini.

Diketahui, Indonesia merupakan produsen tembakau terbesar ke-4 di dunia dengan nilai pasar US$34 miliar. Cukai tembakau sekitar 95% dari total pendapatan cukai atau 11% pendapatan pajak. Kenaikan cukai tidak efektif untuk mengurangi tingkat konsumsi. Tingginya insiden penyakit tidak menular dan kematian terkait tembakau.

Biaya terkait merokok bagi pemerintah, ekonomi, dan masyarakat Indonesia mencapai Rp846 triliun atau US$57 miliar setiap tahun, atau setara dengan 4,2% dari PDB Indonesia. Dengan kalkulasi, pengeluaran kesehatan sebesar Rp45 triliun atau US$3 miliar. Kerugian ekonomi akibat kematian dini sebesar Rp694 triliun atau US$47 miliar. Kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas, yaitu absensi, kehadiran, dan istirahat merokok sebesar Rp107 triliun atau US$7 miliar.

CME menggagas lima inovasi pendekatan Harm Reduction.

Inovasi pertama, ekosistem pro-inovasi untuk menciptakan insentif yang mendorong perubahan perilaku konsumen ke arah positif.

Inovasi kedua, pajak yang proporsional untuk mendorong konsumen beralih ke produk alternatif yang lebih rendah sekaligus mengurangi biaya kesehatan.

Inovasi ketiga, mendorong jika 1% saja perokok beralih ke produk alternatif, maka potensi penghematan total dapat mencapai 0,04% hingga 0,09% PDB Indonesia.

Inovasi keempat, jika semua perokok beralih, kontribusi bagi perekonomian nasional dapat mencapai 3,7% hingga 8,98% PDB Indonesia.

Inovasi terakhir, kebijakan ramah bisnis akan memperkuat posisi Indonesia sebagai sentra R&D dan produksi alternatif di Asia Tenggara.

[red]

Berita Terbaru

Pak Bahlil, Masalah Impor Minyak Tidak Tergantung Beroperasinya RDMP Balikpapan

11 December 2024 - 16:55 WIB

Samuel Rizal dan Menteri Bahlil Lahadalia serta istri, di kantor BKPM, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (24/12) (Foto: Grid.ID / Annisa Dienfitri)

Aceh Jadi Pusat Hilirisasi Gas Bumi dan Getah Pinus

11 December 2024 - 16:08 WIB

Ilustrasi hilirisasi gas. (Indonesiawatch.id/Dok. Pertamina)

Pemerintah Siapkan Sejumlah Langkah ‎Antisipasi Bencana Cuaca Ekstrem di Jobodetabek

11 December 2024 - 14:19 WIB

Ditemukan Cadangan Gas Bumi di Sumur Geng North-1 Kaltim, SKK Migas: Jadi Game Changer

11 December 2024 - 13:32 WIB

Ilustrasi Sumur Geng North-1 (Foto: SKK Migas)

‎Eks Staf Ahli Anggota DPD Minta KPK Usut Dugaan Korupsi Mantan Bosnya

11 December 2024 - 10:21 WIB

Populer Berita Hukum