Jakarta, Indonesiawatch.id – Kebijakan blokir platform media sosial (medsos) belakangan terjadi di sejumlah negara. Sebelumnya, Turki memblokir Instagram pada 2 Agustus 2024 dengan alasan yang tidak pernah dijelaskan secara detil. Ankara baru membuka blokir Instagram pada 10 Agustus 2024 setelah memutus akses platform media sosial populer tersebut selama sembilan hari.
Diduga blokade terhadap Instagram berkaitan dengan pemberitaan pemimpin Hamas, Ismael Haniyah yang tewas di Iran bulan lalu dalam serangan yang diduga dilakukan Israel. Direktur Komunikasi untuk Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Fahrettin Altun, menuduh Instagram memblokir pesan belasungkawa untuk Ismael Haniyeh, pemimpin politik Hamas dan sekutu dekat Erdogan.
Kebijakan blokir juga dilakukan Pemerintah Rusia. Kremlin membuat kebijakan untuk memblokir YouTube. Meski demikian, Kremlin tidak menerapkan pemblokiran tingkat ISP secara penuh. Diketahui, YouTube merupakan salah satu platform video di Rusia yang mengizinkan unggahan konten yang berkaitan dengan penentang Kremlin atau oposisi dari Presiden Vladimir Putin.
Sebagai tanggapan, Rusia memblokir akses ke YouTube melalui pembatasan kecepatan internet yang parah. Pemerintah Rusia tidak menyukai para oposisi yang dapat mengunggah konten secara bebas. Seperti yang dilaporkan Reuters, banyak platform sosial terpopuler telah menghapus video atau postingan semacam itu untuk menghindari pembatasan. Namun, YouTube terus mengabaikan permintaan untuk menghapus konten tanpa alasan yang tepat.
Analis politik dan hubungan internasional dari Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Yohanes Sulaiman mengatakan, blokir terhadap YouTube yang dilakukan Rusia memiliki muatan dan latar belakang politik. “Tidak hanya karena YouTube memperlihatkan konten penentang Kremlin, tapi juga membatasi konten propaganda Kremlin,” kata Yohanes ketika dikonfirmasi Indonesiawatch.id.
Kebijakan blokir media sosial menurutnya sering dilakukan oleh pemimpin negara yang proteksionis dan cenderung otoriter dalam kebijakannya. “Ini (kebijakan blokir) biasanya disebabkan pemimpin-pemimpin yang insecure, yang takut oposisi dan digulingkan karena mereka bisa berkuasa dengan memainkan dan memanipulasi pemilihan umum,” ucapnya.
Terkait kebijakan informasi pemerintahan baru Indonesia, Yohanes berkeyakinan tidak akan meniru dan mengadaptasi apa yang dilakukan Rusia dan Turki. “Untuk Prabowo, saya rasa ia cukup bijak untuk sadar bahwa kritik dari sosial media, biarpun pahit, tapi berguna sebagai check and balance, sebagai sarana menghindari perilaku asal bapak senang,” tandasnya.
Pakar IT dan Telematika Roy Suryo mengatakan, kebijakan blokir atau breidel memang masih selalu jadi momok bagi publik dan masyarakat pers yang sudah berpikiran merdeka. “Karena meski secara aturan sudah tidak dikenal lagi di Indonesia pasca terbitnya UU Nomor 23 Tahun 1954 yang mencabut Persbreidel-Ordonnantie dalam Statblaad 1931 Nomor 394 dan Nomor 44, namun faktanya breidel digital jauh lebih mudah dilakukan dan tanpa banyak diketahui orang,” kata Roy Suryo ketika diwawancara Indonesiawatch.id.
Roy mengungkap, catatan terakhir soal breidel digital dibuatnya pada awal Agustus 2024 lalu saat Portal berita RRI (www.rri.co.id) menulis fakta persidangan Abdul Ghani Kasuba (AGK), mantan Gubernur Maluku Utara, yang menyebut nama Bobby Nasution (BN) dan Kahiyang Ayu (KA). “Yang dikenal dengan istilah Blok Medan mendadak beritanya di- “404 Not Found”- kan alias dihilangkan,” ujar Roy.
Ia menyebut, kebijakan blokir akan sangat tergantung pada kebijakan (policy) Presiden terpilih Prabowo Subianto ke depan dan juga sosok Menkominfonya. “Karena kalaupun presiden sudah bisa terbuka terhadap kritik tetapi Menkominfonya mau carmuk alias menjilat ke atasannya, bisa saja dia akan memberlakukan breidel digital alias mem-“404 Not Found”-kan konten-konten pemberitaan tertentu,” tuturnya.
Roy mengingatkan di iklim demokratis, rakyat memiliki suara mengkritik kebijakan pemerintah. “Namun, kita sebagai masyarakat tentu bisa speak up atau menyuarakan dengan lantang bilamana ada hal-hal tersebut terjadi, jangan sampai apa yang dilakukan Putin di Rusia dan Erdogan di Turki akan terjadi lagi di Indonesia besok-besoknya. Vox Populi Vox Dei, kita tetap bisa bersuara mendukung media,” pungkasnya.
[red]