Kebijakan Swasembada Pangan Prabowo, Pragmatisme Pangan yang Patriotik
Oleh: Alfian Banjaransari*
Saat ini, Indonesia memasuki babak baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, yang menjadikan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas nasional. Dalam pidato perdananya, presiden menegaskan, “Saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita tidak boleh bergantung dari sumber makanan dari luar”.
Lebih lanjut, Presiden Prabowo menambahkan bahwa dalam situasi krisis global, negara-negara lain akan mengutamakan kepentingan domestiknya. Untuk itu, Indonesia harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri. Meskipun visi ini sangat mulia, ada baiknya kita imbangi dengan realitas, mengingat tantangan mendesak seperti malnutrisi dan tingginya konversi lahan.
Saat ini, Indonesia memproduksi sekitar 90-93% kebutuhan beras domestik. Di luar itu, Indonesia masih mengimpor antara 1,5 hingga 2 juta ton setiap tahun untuk menstabilkan harga dan memastikan pasokan. Jika kita menengok negara tetangga, kita dapat menjumpai Thailand yang memiliki tingkat ketahanan pangan yang melebihi 150%, dan menjadikannya salah satu eksportir beras utama global.
Mungkin sebagian dari kita akan menganggap perbandingan dengan Thailand tidak apple to apple mengingat perbedaan kondisi geografis dan demografis kedua negara. Namun, justru karena hal inilah kita perlu berpikir lebih serius. Kinerja pangan baik Indonesia maupun Thailand seolah menegaskan kompleksitas yang dihadapi Indonesia dalam upayanya mencapai ketahanan pangan.
Sebetulnya, mencapai angka kecukupan (sufficiency) 90% adalah pencapaian yang patut diapresiasi. Tidak mudah mencapai dan mempertahankan pencapaian ini. Oleh karenanya, kita perlu berhati-hati di tengah desakan agar ngotot harus swasembada 100% dengan cara apapun juga. Apa pasal? Hal ini dapat membuat pembuat kebijakan terjebak dalam fokus pada produksi domestik tanpa mempertimbangkan kemungkinan strategi lain yang lebih pragmatis.
Indonesia juga dapat melihat negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sebagai model alternatif. Singapura, dengan lahan pertanian yang terbatas (kalau tidak mau dibilang tidak ada), mengimpor lebih dari 90% kebutuhan pangannya, sementara Malaysia menyeimbangkan perdagangan pertanian dengan mengekspor minyak sawit dan mengimpor bahan makanan pokok.
Kedua negara jiran kita mengadopsi pendekatan pragmatis, dan memilih untuk menjalin kerja sama perdagangan yang erat dan mendiversifikasi sumber pangannya. Hasilnya, skor ketahanan pangan baik Singapura maupun Malaysia malah lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Ironis bukan?
Mengejar gap 10% untuk menuju swasembada 100% akan memakan biaya tinggi yang boleh jadi hasilnya tidak sepadan (diminishing returns). Dengan anggaran ketahanan pangan tahunan yang melebihi Rp124 triliun—yang sebagian besar dipakai untuk menambal harga beras— sudah saatnya kita membuka mata dan bersikap realistis. Extra effort untuk mencapai swasembada akan memerlukan investasi yang lebih besar, terutama jika melibatkan perluasan infrastruktur ke daerah terpencil atau kurang subur, padahal prioritas kita bukan swasembada semata.
Salah satu prioritas mendesak yang tidak bisa ditunda adalah malnutrisi. Bayangkan, 30% anak-anak Indonesia mengalami stunting akibat kekurangan gizi—masalah ini serius karena memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan potensi ekonomi. Alih-alih terobsesi pada target produksi domestik, pemerintah bisa memperluas strategi pangan untuk meningkatkan akses terhadap makanan bergizi yang beraneka ragam sekaligus bergizi tinggi.
Realistis sajalah. Harga beras di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga; laporan dari Bank Dunia bahkan memperkirakan bahwa masyarakat Indonesia membayar sekitar 20% lebih untuk beras dibandingkan konsumen lain di ASEAN. Sudah begitu, saat ini hanya kurang dari 20% dari angkatan kerja kita yang bekerja di sektor pertanian (angka inipun sebetulnya terus menurun). Boleh jadi, sumber daya kita sebaiknya dialokasikan untuk meningkatkan produktivitas tanaman pokok lain seperti: jagung, kedelai, dan singkong—di mana Indonesia juga sebetulnya memiliki ketergantungan pada impor.
Untuk mencapai visi ketahanan pangan yang berkelanjutan, Indonesia perlu mengadopsi perspektif yang memprioritaskan keluwesan dan kecermatan daripada idealisme swasembada yang saklek. Pengelolaan sumber daya secara pragmatis yang kita lakukan hari ini justru memastikan bahwa generasi anak cucu kita kelak dapat berkembang dengan gizi baik. Sejatinya, pragmatisme pangan adalah praktik patriotisme.
*Penulis Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME-ID)