Penulis Opini: Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen)
Jakarta, Indonesiawatch.id – Menteri Luar Negeri RI Sugiono menyampaikan rencana perjalanan Presiden Prabowo Subianto, dalam rangka menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York.
Pada Selasa, 23 September 2025, Presiden Prabowo akan berpidato dalam sesi debat umum Sidang Majelis Umum PBB. Rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Ottawa, Kanada untuk melakukan kunjungan resmi sekaligus menyaksikan penandatanganan Indonesia-Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
Dari Kanada, Presiden akan lanjut menuju Belanda. Menlu Sugiono menyebut Presiden Prabowo diagendakan bertemu dengan Raja Willem-Alexander.
Agenda kunjungan Presiden Prabowo ke Belanda, tentunya perlu mempertimbangkan aspek sensitif menyangkut hubungan bilateral kedua negara, yaitu tentang pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Mengingat hingga saat ini, dalam hubungan Belanda-Indonesia, pihak Belanda hanya memberikan pernyataan lisan, menerima (bukan mengakui) secara de facto kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pemerintah belanda sama sekali tidak mengakui secara de jure kemerdekaan RI 17 agustus 1945.
Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda pada 14 juni 2023, dalam perdebatan di parlemen belanda mengatakan “mengakui tanpa syarat” kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Namun setelah debat parlemen, Mark Rutte membuat pernyataan resmi bahwa “menerima kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 sebagai fakta sejarah, ini bukan masalah hukum, karena sehubungan dengan hukum, sikap Belanda tidak ada yang berubah”.
Dalam pernyataan resminya Mark Rutte menambahkan “Kedaulatan telah diberikan kepada Federasi RIS. Belanda hanya memberikan kedaulatan satu kali”. Pernyataan Mark Rutte secara transparan telah melecehkan martabat kedaulatan RI.
Mengutip keterangan Staf khusus presiden SBY bidang hubungan internasional Teuku Faizasyah, kunjungan kepala negara Indonesia ke Belanda, seperti yang dilakukan Pak Harto, Gus Dur dan Megawati, bukan kunjungan kenegaraan.
Hal tersebut tentunya dapat dijadikan rujukan, terhadap status kunjungan presiden Prabowo ke Belanda yang dijadwalkan 26 September 2025. Apakah mungkin Belanda akan menerima Prabowo sebagai presiden dari sebuah negara berdaulat, sementara Belanda tidak pernah mengakui secara de jure kemerdekaan RI 17 agustus 1945.
Alangkah naifnya jika kunjungan presiden Prabowo hanya sebagai kunjungan dagang atau kunjungan wisata. Mengingat kunjungan seorang kepala negara berdaulat ke negara lain, wajib diberlakukan protokoler kenegaraan, sebagai bentuk kunjungan kenegaraan.
Departemen luar negeri selaku leading sektor dalam kunjungan presiden Prabowo ke Belanda, tentunya harus transparan memberikan masukan kepada presiden Prabowo, dalam rangka menghindari terjadinya pelecehan terhadap marwah presiden RI oleh negara lain.
Terkait hubungan RI-Belanda tentunya perlu diberlakukan prinsip resiprokal, jika belanda tidak mengakui secara de jure kemerdekaan RI maka adalah hak Indonesia untuk tidak mengakui kemerdekaan belanda secara de jure. Sebagaimana Indonesia tidak mengakui hubungan diplomatic dengan Israel dan Taiwan, tetapi tidak mempengaruhi hubungan dagang, investasi dan pariwisata.
Notes: Opini atau tulisan ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab penulis