Rakyat Aceh tidak dapat menikmati sumber daya alamnya, meskipun daerahnya berstatus Daerah Istimewa. Izin WPR yang diajukan Masyarakat Aceh, hingga saat ini tidak satu pun terealisasi. Bisa memicu konflik kembali, jika kemiskinan di Aceh semakin memburuk.
Jakarta, Indonesiawatch.id – Provinsi Aceh termasuk satu dari dua provinsi yang ditetapkan sebagai daerah istimewa. Pemberian ini merupakan konsensus demi menjaga keutuhan NKRI. Karena daerah Istimewa, Provinsi Aceh memiliki wewenang yang berbeda dari provinsi-provinsi lain. Wewenang ini didasarkan pada nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat demi kesejahteraan.
Meskipun demikian, Aceh tidak benar-benar menjadi daerah Istimewa yang memiliki wewenang khusus tersebut. Beberapa kebijakan Pemerintah Pusat justru menyengsarakan dan menjerumuskan rakyat Aceh ke jurang kemelaratan.
Contoh kasat mata diantaranya pencabutan kewenangan Aceh di bidang Minerba yang diamanatkan pada Pasal 156 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor II Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal tersebut menegaskan bahwa (I) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya.
Ironinya pencabutan kewenangan Aceh di bidang minerba, dilakukan oleh Pemerintah Pusat hanya dengan Surat nomor: 1481/30.01/DJB/2020 ditandatangani langsung oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin. Dalam surat tersebut, terhitung sejak 11 Desember 2020, pelayanan pemberian perizinan di bidang pertambangan mineral dan batubara akan beralih ke pemerintah pusat.
Bahkan belum lama ini Pemerintah Pusat justru mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam PP No. 25 tahun 2024 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang melegalkan Ijin Tambang untuk Ormas Keagamaan yang sangat bertentangan dengan UU No3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba dan terkesan diskriminatif.
Rakyat Aceh khususnya mengharapkan kemudahan Ijin Wilayah Pertambangan Rakyat, dapat diberikan kewenangannya kepada Pemerintah Aceh sebagaimana diamanatkan oleh UUPA No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Sebaliknya, kebijakan PP No 25 Tahun 2024 menciptakan diskriminatif terhadap rakyat Aceh.
Perlu menjadi catatan Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden Joko Widodo, bahwa permohonan penerbitan Ijin WPR yang diajukan oleh Pemerintah Aceh kepada Menteri ESDM, sampai saat ini tidak satu pun terealisasi. Bahkan ada dugaan permohonan Ijin WPR yang diajukan Pemerintah Aceh kepada Menteri ESDM, sama halnya dengan melemparkan lembaran kertas ke tong sampah.
Pencabutan kewenangan Aceh dibidang pertambangan minerba dan sulitnya untuk memperoleh Ijin WPR sebagai syarat tumbuhnya koperasi tambang rakyat di Aceh, menimbulkan kecurigaan rakyat Aceh, sebagai siasat tidak sehat Pemerintah Pusat. Patut diduga fakta ini sarat kepentingan yaitu, melanggengkan masuknya para oligarki tambang yang di-backing oleh para pejabat pusat, untuk merambah kekayaan alam Aceh secara tidak bertanggung jawab.