Jakarta, Indonesiawatch.id – Tanggal 20 Oktober 2024, akhir kekuasaan Jokowi. Momentum ini menjadi tonggak sejarah baru peralihan kekuasaan negara dan berakhirnya 10 tahun kekuasaan Presiden Joko Widodo. Dimulai dari sosok politisi outsider, menjadi kekuatan utama di panggung politik nasional.
Konfigurasi lanskap stabilitas nasional Indonesia sebagai warisan Jokowi, ditandai dengan terpolarisasinya kekuatan politik yang berpotensi terpecahnya bangsa ini. Lalu pembangunan ekonomi yang bertumpu pada hutang luar negeri dan beban pajak rakyat yang mencekik leher.
Baca juga:
Karakter Raja Jawa dalam Perspektif Pemerintahan Jokowi
Belum lagi munculnya oligarki dan politik dinasti sebagai biang keladi mundurnya kualitas demokrasi. Sementara penegakan hukum hanya sebagai alat politik kekuasaan negara.
Jokowi memulai kepemimpinannya, dengan membangun citra pemimpin merakyat. Tapi justru di akhir kekuasaannya, Jokowi meninggalkan citra sebagai pemimpin otoriter.
Yang memberi andil tumbuhnya oligarki dan politik dinasti yang menciptakan ketidak setaraan dalam proses demokrasi serta maraknya kebijakan politik tidak etis. Potret ironi Jokowi yang dilahirkan oleh orang tua reformasi, tapi justru menjadi Malin Kundang terhadap Ibu Pertiwi.
Dalam surat Jangka Jayabaya, digambarkan dengan simbol-simbol, bahwa akhir kekuasaan Jokowi, pertanda selesainya sengkarut era zaman Kolobendu. Tahun 2025 yang ditandai sebagai era baru aman Kolosubo dan munculnya pemimpin baru.
Baca juga:
10 Tahun Jokowi: Dipoles CIA, Lonjakan Utang dan Pengkhianat Demokrasi
Mengisyaratkan akan membawa perubahan besar yang membawa kearah tatanan berbangsa dan bernegara yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Ditengah carut marut kondisi domestik Indonesia, dibutuhkan penyelesaian komprehensif. Tentunya syarat utama pemimpin adalah sosok yang “gila”, dalam artian gila untuk selalu berpihak pada kepentingan rakyat.
bersambung ke halaman selanjutnya