Jakarta, Indonesiawatch.id – Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA) Muhammad Nur SH, pada tanggal 24 November 2024 menyatakan, perusahaan tambang di Aceh kurang memperhatikan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan serta ekonomi masyarakat sekitar tambang.
Selanjutnya Muhammad Nur mengatakan, jika ternyata ada perusahaan pertambangan yang terbukti aktivitasnya merusak lingkungan, maka operasional perusahaan harus dihentikan, hingga masalah kerusakan lingkungan diselesaikan.
Baca juga:
Disebut ‘Gak Sekolah’, Aktivis: Hargai Pengorbanan Mualem Untuk Aceh
Pernyataan ForBINA tersebut, menyusul adanya hasil temuan di lapangan, tentang keluhan warga dan perangkat desa di Kecamatan Lhoong Aceh Besar, di sekitar lokasi perusahaan PT Lhoong Stia Mining, melaporkan terjadinya pencemaran lingkungan, diduga akibat pembakaran karbon dalam proses pengolahan biji besi oleh PT Lhoong Stia Mining.
Polusi pembakaran karbon, telah merusak pertanian dan kesehatan masyarakat. Kejadian ini mendapat respon perusahaan hanya menganjurkan masyarakat untuk memakai masker.
Hal ini tentunya menjadi tidak bijak, ketika pencemaran lingkungan diduga akibat produksi pembakaran karbon PT Lhoong Stia Mining, telah mengakibatkan penyakit ispa, matinya tanaman pertanian dan rusaknya ekosistem di wilayah Aceh Besar.
Perwakilan masyarakat Kecamatan Lhoong, telah mendesak PT Lhoong Stia Mining untuk menghentikan aktivitas pembakaran karbon dan berharap pemerintah daerah, segera mengambil langkah tegas terhadap PT Lhoong Stia Mining.
Pembiaran terhadap pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh PT Lhoong Stia Mining, berpotensi menyebar ke desa-desa di sekitar lokasi pabrik pembakaran karbon milik PT Lhoong Stia Mining.
Kasus kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat akitivitas investor perusahaan tambang, perlu mendapat perhatian secara cermat Pemerintah Aceh, untuk membuka pintu investasi besar dibidang pertambangan.
Potret eksplorasi pertambangan besar di seluruh wilayah Indonesia, hanya menyisakan kemiskinan masyarakat dan kerusakan lingkungan.
Hal tersebut akibat regulasi tambang yang tidak berpihak kepada rakyat, sebagaimana amanat pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 45. Investor besar pertambangan amat dimanja oleh regulasi pertambangan, mengingat hasil eksplorasi tambang, langsung menjadi milik investor, sementara negara hanya menerima pajak dan retribusi, rakyat sebagai pemilik kekayaan alam, hanya menikmati CSR.
Aceh sebagai garda terakhir penjaga kekayaan alam Indonesia, dengan kewenangan yang diberikan oleh UUPA, hendaknya berani mengimplementasikan UUPA, khususnya kewenangan mengelola sector pertambangan, melalui penerapan Qanun Mawa Minerba yaitu pengelolaan minerba berbasis Syariah atau bagi hasil.