Berkali-kali Firli Mangkir & Tidak Ditahan, MAKI: Penyidik Tidak Profesional Bencana Beruntun Longsor & Banjir di Deli Serdang Sumut, Ada Korban Jiwa Fiskal Mepet, Prabowo Turunkan Anggaran Makan Bergizi Gratis Jadi Rp10 Ribu per Anak Aktivis Aceh Cut Farhani Ucapkan Selamat atas Keunggulan Mualem – Dek Fadh, Jaga Amanah Rakyat Pengentasan Kemiskinan dengan Gerakan “Berantas Buta Finansial” Keuangan Perusahaan Grup Bakrie Ini Semakin Boncos, Liabilitas Rp13 Triliun

Hukum

Bipartit Institute Respons Putusan MK tentang Cipta Kerja, Berharap Prabowo-Gibran Lakukan Perbaikan

Avatarbadge-check


					Demo Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja (Doc. Suara.com) Perbesar

Demo Buruh Tolak Omnibus Law Cipta Kerja (Doc. Suara.com)

Jakarta, Indonesiawatch.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 168/PUU-XX1/2023 yang menyatakan 21 Pasal dalam Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi UU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat mendapat respon dari Lembaga Sinergi Bipartit (Bipartite Institute).

Direktur Eksekutif Lembaga Sinergi Bipartit (Bipartite Institute), Sabda Pranawa Djati menyatakan, pemerintahan Presiden Jokowi selama berkuasa sangat serampangan dalam membuat UU. Buktinya, UU Cipta Kerja dianulir MK. Sabda menyebut, jika Indonesia adalah negara hukum, seharusnya pemerintah menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam pengambilan kebijakan.

“Putusan MK tentang Judicial Review UU Cipta Kerja, sangat terlihat jelas, bagaimana UU Cipta Kerja tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan buruh, hingga diputuskan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Sabda Pranawa Djati dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 4 November 2024.

Menurut Sabda, Pemerintahan Prabowo-Gibran harus menjadikan Putusan MK No. 168/PUU-XX1/2023 sebagai modal awal dan momentum untuk membuat UU Ketenagakerjaan yang baru, yang secara proses dan isinya lebih berpihak pada kepentingan rakyat dan buruh di Indonesia.

“Arah kebijakan ketenagakerjaan dari Pemerintahan Prabowo-Gibran masih penuh tanda tanya. Hal ini disebabkan karena banyak menteri di Kabinet Merah Putih, yang saat Pemerintahan Jokowi, adalah tokoh-tokoh kunci dalam penyusunan dan pembuatan UU Cipta Kerja yang penuh kontroversi,” ujar Sabda.

Ia berharap Prabowo-Gibran dapat melakukan reformasi arah kebijakan ketenagakerjaan Indonesia, dengan melibatkan partisipasi bermakna dari seluruh stakeholder hubungan industrial. “Rakyat Indonesia menunggu komitmen Prabowo Gibran dalam mewujudkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah layak dan jaminan sosial, termasuk juga perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia di luar negeri,” katanya.

Terkait penetapan Upah Minimum tahun 2025, Bipartite Institute mendesak pemerintah untuk menetapkan Upah Minimum dengan merujuk pada Putusan MK, tidak lagi menggunakan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.

“Karena Putusan MK tegas, bahwa upah minimum ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh, yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua,” Sabda menjelaskan.

Dirinya mengungkapkan sejak berlakunya UU Cipta Kerja, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan/atau Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) tidak pernah lebih dari 10%. Bahkan, pada 2021 pemerintah tidak menaikkan UMP dan/atau UMK.

Sabda membeberkan data bahwa pada 2020, kenaikan UMP dan/atau UMK hanya 8,51%. Pada 2021, pemerintah tidak menaikkan UMP dan/atau UMK karena kondisi ekonomi Indonesia dalam masa pemulihan setelah pandemi Covid-19. Tahun 2022, kenaikan UMP rata-rata 1,09 %.

Tahun 2023, melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, membatasi kenaikan UMP tidak boleh melebihi 10 persen. Pada 2024, kenaikan UMP berkisar antara 1,19 % sampai 7,5%.

Sabda menyatakan perlu dilakukan revisi dengan mengembalikan formula penghitungan upah minimum berdasar Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Dasar hukum terkait KHL saat ini adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (PMK) Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak, yaitu sebanyak 64 komponen.

“Perlu dilakukan revisi untuk perbaikan kuantitas dan kualitas KHL,” ujar Sabda.

[red]

Berita Terbaru

Bencana Beruntun Longsor & Banjir di Deli Serdang Sumut, Ada Korban Jiwa

30 November 2024 - 14:02 WIB

Petugas tim SAR gabungan mengevakuasi korban dan puing-puing yang berserakan akibat longsor yang menutup jalan jalur Medan-Kabupaten Karo di Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis, 28/11/2024. (AP Photo/Binsar Bakkara)

Fiskal Mepet, Prabowo Turunkan Anggaran Makan Bergizi Gratis Jadi Rp10 Ribu per Anak

30 November 2024 - 07:26 WIB

Fiskal Mepet, Prabowo turunkan Anggaran Makan Bergizi Gratis jadi Rp10 ribu/Anak

Aktivis Aceh Cut Farhani Ucapkan Selamat atas Keunggulan Mualem – Dek Fadh, Jaga Amanah Rakyat

29 November 2024 - 15:43 WIB

Pasangan calon Mualem - Dek Fadh di Pilgub Aceh.

Pengentasan Kemiskinan dengan Gerakan “Berantas Buta Finansial”

29 November 2024 - 13:31 WIB

Keuangan Perusahaan Grup Bakrie Ini Semakin Boncos, Liabilitas Rp13 Triliun

29 November 2024 - 08:56 WIB

Keuangan Perusahaan Grup Bakrie Ini Semakin Boncos, Liabilitas Rp13 Triliun
Populer Berita Ekonomi