Jakarta, Indonesiawatch.id – Selama 18 tahun sejak mendapat gelar Doktor (S-3) pada tahun 2006, akhirnya Luthfiralda Sjahfirdi resmi menyandang Guru Besar dan mendapatkan gelar Profesor dari Universitas Indonesia.
Pada orasi ilmiahnya, Prof. Luthfiralda Sjahfirdi menyampaikan tentang semakin memprihatinkannya ancaman keberlanjutan biodiversitas. Orasinya ini disampaikan langsung di depan Rektor UI Prof. Ari Kuncoro.
Baca juga:
Beredar Video Dirut Garuda Arahkan Karyawannya Pilih Pramono Anung di Pilgub Jakarta, Dirut Garuda: Tidak Benar!
Menurut istri Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra itu, saat ini ada ancaman atas punahnya ragam spesies yang dilindungi, utamanya spesies endemik. Ia mengatakan penurunan biodiversitas memiliki multiplier effect terhadap ekosistem dan manusia.
“Yang tergambarkan dalam kondisi-kondisi seperti berkurang atau hilangnya habitat bagi banyak spesies akibat berbagai macam fenomena alam yang terjadi secara alami maupun yang disebabkan aktivitas pengalihfungsian habitat spesies, perburuan liar, hingga perdagangan satwa dilindungi,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Indonesiawatch.id, (13/11).
Baca juga:
Duh, Posisi Arus Kas Keuangan Garuda Indonesia Terus Turun Sejak PMN Dicairkan Pemerintah
Karena itu, sambung Luthfiralda, berbagai upaya dan langkah konservasi harus dilakukan untuk mencegah penurunan tingkat biodiversitas. “Termasuk upaya konservasi di tingkat spesies, baik secara in situ maupun ex situ yang merupakan metode konservasi flora dan fauna, melalui habitat asli maupun di luar habitat aslinya,” katanya.
Menurutnya, ada 3 aspek penting yang perlu ditatalaksanakan dalam melakukan pendekatan perilaku reproduksi melalui metode konservasi ex situ. Pertama adalah lembaga konservasi ex situ sendiri yang memiliki peranan fundamental dalam memulihkan populasi spesies yang hampir punah.
Meski demikian, bukan berarti lembaga ex situ ini tidak memiliki tantangan tersendiri. Dan salah satu tantangan yang paling disorot adalah kecenderungan lembaga ex situ pada studi kasus tertentu yang dapat mereduksi kemampuan adaptasi alami spesies yang terancam punah.
“Terlepas dari tantangan itu, lembaga ex situ merupakan alternatif yang memliki probabilitas tingkat kesuksesan cukup tinggi dalam menunjang upaya konservasi populasi spesies yang ditunjang kemampuan expertise dari sisi pendekatan manusia, sehingga proses konservasi menjadi lebih terukur kesuksesannya,” katanya.
Aspek kedua yang turut memiliki peranan krusial adalah langkah pelepasliaran spesies hewan ke habitat alami. Menurutnya, ada standar kualitas individu yang perlu dipenuhi bagi spesies hewan yang layak dilepasliarkan, sehingga penting untuk melakukan persiapan secara komprehensif guna memastikan pelepasliaran hewan dilakukan pada waktunya.
Menurutnya, salah satu kasus yang paling menarik adalah cerita pelepasliaran orangutan di Sintang Orangutan Center (SOC). Ia menerangkan bahwa tidak semua spesies orangutan memiliki kemampuan yang sama dalam beradaptasi di alam liar.
“Fenomena ini terlihat bahkan ketika prosedur konservasi dilakukan pada sekolah hutan, di mana beberapa orangutan cenderung enggan membuat sarangnya sendiri dan memilih menggunakan sarang yang telah ada dan masih layak untuk tidur,” katatanya.