Jakarta, Indonesiawatch.id – KontraS angkat bicara soal rencana pemerintahan Prabowo Subianto memberikan amnesti kepda 44 narapidana se-Indonesia.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, di Jakarta, Rabu, (18/12), mengatakan, kebijakan pemberian amnesti harus transparan dan disertai reformasi sistem peradilan pidana secara menyeluruh.
Baca juga:
Indonesia-Iran Bahas soal Pemindahan Napi Narkotika ke Iran
Dimas menegaskan, proses pemberian amnesti kepada narapidana untuk mengatasi masalah kapasitas lapas yang berlebih (overcrowded) merupakan ekses atau akibat dari banyaknya regulasi yang punitif atau mengutamakan pendekatan pemenjaraan.
Lebih lanjut ia menyampaikan, pendekatan pemenjaraan tersebut
misalnya UU ITE yang memuat pasal-pasal “karet” serta UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang masih mengutamakan pendekatan pemenjaraan dibanding rehabilitasi.
KontraS menilai, kata Dimas, masih berlakunya berbagai undang-undang bernuansa represif, maka kejadian overcrowded tersebut tidak dapat dihindarkan ke depannya.
“Kami melihat bahwa niatan untuk memberikan amnesti secara massal tersebut harus disertai dengan mengutamakan pendekatan non-punitif,” katanya.
Selain itu, harus menerapkan semangat untuk melakukan dan memberlakukan keadilan restoratif terhadap tindak pidana tertentu dalam penegakan hukum pidana.
KontraS menyampaikan respons tersebut menanggapi konferensi pers pemerintah yang disampaikan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas; Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai; dan Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra; di Istana Negara, Jakarta, Jumat, (13/12).
Mereka menyatakan rencana untuk memberikan amnesti atau pengampunan masa hukuman kepada kurang lebih 44 ribu narapidana di seluruh Indonesia.
Amnesti tersebut dilakukan dengan alasan kemanusiaan dan semangat rekonsiliasi serta akan “menarget” empat jenis narapidana atau warga binaan pemasyarakatan (WBP), yakni:
1. WBP dengan tindak pidana ITE terkait penghinaan kepada kepala negara.
2. WBP yang mengidap gangguan mental dan penyakit berkepanjangan.
3. WBP dengan kasus makar non-bersenjata di Tanah Papua.
4. WBP dengan kasus narkotika.
[red]