Jakarta, Indonesiawatch.id – Program Jaringan Gas (jargas) kota masuk ke dalam Program Strategis Nasional (PSN) mengacu pada Peraturan Presiden No. 56 Tahun 2018. Pengembangan jargas juga masuk dalam RPJMN 2020-2024. Target penggunaan jargas ditetapkan sampai 2024 yang mencapai 4 juta sambungan rumah tangga (SR).
Namun sayangnya menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Fanshurullah Asa, realisasi jargas sampai dengan tahun 2024 hanya mencapai 20% dari target APBN. “Hal ini dapat disebabkan oleh kebijakan monopoli kepada PT. Pertamina Gas Negara, Tbk. yang tidak membuka dan berhasil melibatkan BUMD dan swasta untuk melakukan investasi di jargas kota,” ujar Asa.
Keterbatasan jaringan pipa gas, katanya, mengakibatkan konsumen bergantung pada LPG khususnya kemasan 3 Kg. Data menunjukkan bahwa konsumsi LPG 3 Kg terus meningkat tiap tahun. Sementara LPG (non subsidi) stagnan dan cenderung turun dan terindikasi beralih ke LPG bersubsidi.
Tercatat, tingkat konsumsi LPG 3 Kg meningkat dari 6,8 juta MT di 2019 menjadi 8,07 juta MT di 2023 (tumbuh 3,3% secara rata rata dalam lima tahun terakhir). Sejalan dengan hal tersebut, biaya subsidi LPG 3 Kg terus meningkat (rata rata tumbuh 16% selama 5 tahun), dari Rp 54,1 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 117,8 triliun di tahun 2023.
Tahun ini, terdapat alokasi subsidi LPG sebesar Rp 87,5 trilliun. Sehingga sejak tahun 2019, total subsidi yang diberikan pemerintah untuk gas sudah mencapai Rp 460,8 trilliun.
Dengan fakta bahwa mayoritas LPG berasal dari impor, maka dapat diperkirakan total nilai impor LPG selama periode 2019-2023 mencapai Rp 288 trilliun. Dengan membandingkan total biaya subsidi LPG dalam periode yang sama (yakni sebesar Rp 373 trilliun), maka rasio biaya impor LPG mencapai 77% dari total subsidi LPG. Jika digabung dengan subsidi tahun ini, total biaya subsidi dan nilai impor tersebut mencapai Rp 833,8 triliun.
“Besaran tersebut sangat signifikan karena mencerminkan devisa yang hilang serta opportunity loss yang subtansial, terutama apabila dapat digunakan untuk pembangunan dan pengembangan jargas kota,” Asa menerangkan.
Menurutnya, tanpa ada perubahan signifikan dalam kebijakan jargas, subsidi LPG akan terus membebani anggaran Pemerintah ke depannya. Sebagai ilustrasi, sambungnya, apabila 50% dari total akumulasi dana subsidi LPG digunakan untuk pembangunan jargas kota, dengan asumsi 1 sambungan rumah (SR) = Rp 10 juta, maka dapat dibangun 23 juta SR dalam periode 5 tahun.
“Tidak hanya ini akan melewati target RPJMN, peralihan ini juga akan berdampak signifikan terhadap penurunan impor LPG dan penghematan devisa bagi negara,” pungkas Asa.
[red]