Jakarta, Indonesiawatch.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Bersih Energi Terbarukan (EBET) memasukkan nuklir sebagai sumber energi baru. Direktur Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM), Prof. Eniya Listiani Dewi mengungkapkan nuklir, hidrogen, amonia, dan sumber energi baru lainnya masuk ke dalam RUU EBET.
Diketahui, sejumlah pasal dalam RUU EBET mengatur pengusahaan energi nuklir termasuk pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN); pembangunan PLTN, serta protokol keamanan dan keselamatan dalam pengoperasian energi nuklir.
Guna menjajaki potensi nuklir sebagai sumber energi baru, Kementerian ESDM menargetkan pembentukan Badan Organisasi Nuklir atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) pada tahun 2024 ini.
“Kita minggu depan akan berkomitmen di IAEA (International Atomic Energy Agency/ Badan Tenaga Atom Internasional) di Vienna, bahwa kita akan membentuk NEPIO,” kata Eniya Listiani Dewi dalam pemaparannya di “Media Gathering Subsektor EBTKE” di Jakarta pada Senin, 9 Januari 2024.
Baca juga:
BKPM & Kementerian ESDM sedang Koordinasi Buat Kepmen dan Permen ESDM Tambang untuk Ormas Keagamaan
Eniya menjelaskan organisasi baru tersebut akan mengawasi dan mengawal pembangunan PLTN yang termasuk kategori energi baru. Sebelumnya, pemerintah mendorong penelitian dan pengembangan teknologi pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebagai salah satu upaya untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Karena itu, pemerintah melakukan pengembangan dan kesiapan infrastruktur PLTN. Opsi nuklir sebagai sumber energi baru juga sudah masuk dalam Kebijakan Energi Nasional seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014.
Sebagai fase lanjutan, Pemerintah sedang memastikan kesiapan membuat komitmen terhadap program pengembangan nuklir. Kementerian ESDM membentuk Tim Persiapan Pembentukan NEPIO.
Pemerintah Indonesia, lanjut Eniya, akan memberikan pernyataan terkait pembentukan NEPIO saat konferensi tahunan IAEA di Wina, Austria. NEPIO sendiri merupakan organisasi nuklir yang dibentuk untuk implementasi PLTN yang bersifat non-binding dan non-struktur. Organisasi ini akan diketuai presiden dan memiliki ketua harian.
NEPIO memiliki tiga kelompok kerja (pokja) yang bertugas mengidentifikasikan perencanaan tapak dan pembangunan PLTN, masalah keamanan, hukum, dan sebagainya. “Mungkin Insya Allah dalam tahun ini kalau kita sudah statement besok minggu depan di IAEA, lalu setelah itu akan kita lanjut untuk merekonstruksi NEPIO ini seperti apa,” katanya.
Menurutnya pembentukan NEPIO penting dalam jangka panjang, sebab pembangunan PLTN akan memakan waktu lama dan tidak selesai dalam masa satu periode pemerintahan. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) sebagai pengganti PP Nomor 79 Tahun 2014 PLTN ditargetkan mulai tersambung ke transmisi (on grid) mulai tahun 2032 sebesar 250 megawatt (MW).
“Pembangunannya pasti akan memakan jangka waktu tidak 1 periode ya, tapi 2 periode (pemerintahan) ya, at least baru masuk on grid itu 2032. Jadi masih 9 tahun ke depan,” tutur Eniya.
Meski demikian, Eniya belum bisa membeberkan letak atau lokasi pembangunan tapak PLTN pertama di Indonesia tersebut. “Nuklir masuk di tahun 2032. Sebanyak 250 megawatt. Tapaknya di mana masih dibahas, ya,” tandasnya.
Di kesempatan yang sama, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan EBTKE, Harris Yahya, mengatakan pemerintah sejauh ini sudah mengidentifikasi beberapa tapak atau lokasi PLTN dengan beberapa syarat. Sejauh ini, pemerintah baru akan menyiapkan tempat untuk PLTN skala kecil atau Small Modular Reactor (SMR) 250 MW.
“Tapak di mana penduduk tidak ada atau tidak banyak, dan sudah ada tempat yang bisa dipertimbangkan dan kita bisa memanfaatkan pulau kecil yang akan dilewati jalur transmisi laut dari Kalimantan dan Jawa,” kata Harris kepada Indonesiawatch.id.
[red]