Jakarta, Indonesiawatch.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung mengabulkan gugatan Pegi Setiawan di sidang praperadilan di PN Bandung pada Senin, 8 Juli 2024. Emran Sulaeman yang bertindak sebagai hakim tunggal pada sidang praperadilan membacakan putusan pengadilan bahwa penetapan tersangka kepada Pegi Setiawan dinyatakan tidak sah dan batal secara hukum.
Atas putusan tersebut, Pegi Setiawan bebas dari status tersangka di kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon oleh Polda Jabar pada 2016 silam. Diketahui, Pegi ditangkap polisi pada 29 Mei 2024 dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kontroversial tersebut.
Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amril turut memberikan komentar terkait putusan praperadilan yang menyatakan penangkapan dan penetapan tersangka oleh polisi tidak sah. “Pegi bebas, masalah (kasus Vina) belum tuntas,” ujar Reza Indragiri dalam keterangan resmi yang diterima Indonesiawatch.id.
Ia menuding Aep dapat diproses hukum dengan adanya putusan tersebut. Pasalnya, Aep disinyalir memberikan keterangan palsu saat mengaku melihat Pegi Setiawan turut membunuh Vina dan Eky. “Persoalannya, keterangan palsu (false confession) Aep itu datang dari mana? Dari dirinya sendiri ataukah dari pengaruh eksternal? Jika dari pihak eksternal, siapakah pihak itu?” katanya.
Menurut Reza, Aep semestinya segera diperiksa soal keterangannya yang berani menyebut nama Pegi dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Hal lain yang menjadi kejanggalan, sosok Aep tidak pernah dihadirkan selama persidangan kasus Vina sejak 2016 silam.
Selain itu, Reza menyoroti keterangan terpidana Sudirman yang mengakui Pegi Setiawan turut terlibat dalam kasus tersebut. Menurutnya, Sudirman adalah sosok yang rapuh dan memiliki keterbatasan dari sisi intelektualitas. “Ingatannya, perkataannya, cara berpikirnya bisa berdampak kontraproduktif bahkan destruktif bagi proses penegakan hukum,” katanya.
Reza menyebut, perlu ada advokasi dan pendampingan terhadap Sudirman yang bisa menetralisasi segala bentuk pengaruh eksternal yang dapat menyalahgunakan saksi dengan keunikan seperti Sudirman.
Menurut Reza dengan patahnya narasi Polda Jawa Barat bahwa Pegi adalah sosok yang mengotaki pembunuhan berencana Vina, dapat berdampak serius terhadap nasib kedelapan terpidana lainnya. Ia berpandangan, 8 terpidana di kasus pembunuhan Vina dan Eky bisa bebas dari jerat hukum bila fakta dan konstruksi kasus ini tidak menemui titik terang.
“Bagaimana otoritas penegakan hukum dapat mempertahankan tesis bahwa kedelapan terpidana itu adalah kaki tangan Pegi? Benarkah mereka pelaku pembunuhan berencana, ketika interaksi masing-masing terpidana (selaku eksekutor) dengan Pegi (selaku mastermind) ternyata tidak pernah ada?” ujarnya.
Reza menyebut, cara kerja Scientific Crime Investigation yang dilakukan Polda Jawa Barat hanya sebatas terkait DNA, CCTV, dan otopsi jenazah. Ia mencatat ada satu hal penting yang belum pernah diungkap Polda Jabar sejak penanganan kasus Vina pada 2016. Yakni, bukti elektronik berupa detil komunikasi antarpihak pada malam ditemukannya tubuh Vina dan Eky di jembatan pada 2016.
“Termasuk komunikasi via gawai yang masing-masing korban lakukan dengan pihak-pihak yang ia kenal. Siapa, dengan siapa, tentang apa, jam berapa. Itulah empat hal yang semestinya secara rinci diperlihatkan sebagai alat bukti. Sekali lagi: siapa menghubungi siapa terkait apa pada jam berapa,” tuturnya.
Reza memiliki intuisi bahwa Polda Jabar memiliki data yang diekstrak dari gawai para pihak tersebut. “Dan, juga firasat saya, data itu sangat potensial mengubah 180 derajat nasib seluruh terpidana kasus Cirebon,” ia menambahkan.
Tak kalah penting, Reza menyebut putusan praperadilan yang membebaskan Pegi Setiawan mengindikasikan adanya kesalahan prosedur oleh penegak hukum. Menurutnya, korban salah tangkap layak mendapat ganti rugi sebagaimana praktik yang ada di banyak negara. “Ketimbang melalui mekanisme hukum yang bersifat memaksa bahkan mempermalukan, institusi kepolisian biasanya memilih penyelesaian secara kekeluargaan guna memberikan kompensasi itu,” pungkasnya.
[red]