Jakarta, Indonesiawatch.id – Perang Diponegoro yang berlangsung selama 1825-1830, menewaskan 8 ribu serdadu Belanda dan 7 ribu pasukan Diponegoro, dengan biaya perang yang dikeluarkan Belanda 20 juta Gulden.
Akibatnya Belanda mengalami krisis keuangan. Betapa dahsyatnya perang Diponegoro yang mengakibatkan kekuatan militer Belanda luluh lantak.
Pangeran Diponegoro atau Raden Ontowiryo adalah putra Hamengkubuwono III, akhirnya harus menghentikan perlawanan, karena kelicikan Belanda dengan penghianatan.
Pada 28 Maret 1830 di Magelang, Belanda mengundang Pangeran Diponegoro untuk membahas perundingan damai, mengingat saat itu bersamaan dengan idul fitri.
Pangeran Diponegoro berpikir momentum itu sekaligus bersilahturahmi. Pangeran Diponegoro hanya didampingi tiga orang putranya dan seorang panglima perangnya, datang memenuhi undangan Jenderal De Kock.
Tapi yang terjadi adalah aksi penangkapan oleh militer Belanda. Pada abad 18 ketika Belanda menerapkan kultur stelsel (Tanam Paksa), sosok wanita pejuang Nyi Mas Melati “singa betina dari Tangerang”, membuat gentar pasukan Belanda. Karena beberapa kali Belanda alami kekalahan.
Akhirnya Belanda memanfaatkan para tuan tanah etnis cina, untuk mengepung Nyi Mas Melati pada pertempuran besar Tangerang. Nyi Mas Melati gugur akibat penghianatan para tuan tanah. Di awal Indonesia merdeka, bertubi-tubi Indonesia mengalami penghianatan etnis tionghoa perantauan di beberapa wilayah seperti di Bagansiapiapi, Kalimantan Barat dan Tangerang.
Di bawah organisasi Pho An Tui, Etnis Cina Perantauan terus melakukan gerakan pro Belanda untuk membantu agresi militer Sekutu.
Di era orde baru, nampaknya pihak Belanda dan Eropa terus menggalang kekuatan untuk merongrong dan campur tangan terhadap urusan domesti Indonesia.
Pastor Pater Beek asal Belanda agen CIA, menggalang etnis tionghoa membentuk CSIS yang nantinya dikatakan sebagai arsitek orde baru. Pada masa inilah para etnis tionghoa memperoleh karpet merah, mengantarkan meraka menjadi penguasa perbankan dan ekonomi Indonesia.
Belum lagi upaya Belanda membentuk Unpresented Natioan People Organization (UNPO) di Den haag. UNPO adalah organisasi internasional yang menaungi kelompok separatis di seluruh dunia termasuk OPM, RMS dan GAM.
Belanda juga menggagas terbentuknya International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) pada tanggal 10 – 13 November 2015 di Den Haag, sebagai pengadilan publik untuk menuntut pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun 1965 hingga 1966. Ironinya IPT 65 adalah hasil kerjasama dengan NGO domestic Indonesia.
Era reformasi yang kelahirannya tidak terlepas dari campur tangan asing, dalam perjalanannya kerapkali dihadang oleh praktek penghianatan pihak asing dengan dalih bantuan pendanaan proses legislasi, bahkan menggunakan perpanjangan tangan pejabat negara
Diantaranya amandemen UUD 45, omnibus law, UU Ketenagalistrikan, UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal. Dengan demikian perundang-undangan di Indonesia, nyaris tidak memiliki jati diri yang mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralis dan prinsip kedaulatan berada ditangan rakyat.
Konstitusi saat ini mencerminkan pro pemodal dan hanya membuka ruang bagi kedaulatan pasar, menggusur kedaulatan rakyat. Konstitusionalisme yang memberi karpet merah pemodal raksasa, mengakibatkan rakyat seperti tamu di negara sendiri.
Kasus sertifikasi laut di Tangerang dan kebijakan PSN di balik mega proyek swasta seperti PIK 2, adalah bentuk penghianatan asing yang dibackup para pengkhianat oknum pejabat negara dan aparat hukum. Sudah saatnya kita bangsa Indonesia, untuk bercermin kepada sejarah, bahwa pengkhianatan asing adalah ancaman faktual, dengan tujuan akhir menjadikan Indonesia tinggal sejarah.
Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen