Menu

Dark Mode
Krikil dalam Sepatu Damai Aceh Perang Iran-Israel Picu Perang Dunia Ketiga? Pendaftaran AMI Awards 2025 Dibuka! Ruang Ekspresi Memajukan Musik Indonesia Kunjungan Presiden Prabowo ke Singapura Bahas Ekstradisi, Bisa Seret Mafia Migas Kemiskinan yang Dimiskinkan Pak Prabowo, Dengarlah Suara Rakyat

Opini

Perubahan Paradigma Stratifikasi Sosial Pemicu Korupsi di Indonesia

Avatarbadge-check


					Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen).
Perbesar

Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen).

Jakarta, Indonesiawatch.id – Di era kejayaan kerajaan nusantara, berkembang nilai tradisi dan budaya adi luhung, dengan menempatkan nilai moral diatas nilai materil dan kebendaan.

Fenomena tradisi warisan para leluhur yang tinggi tersebut, tercermin dari stratifikasi social yang menggolongkan kelas social terdiri dari: pertama golongan Brahmana yang hidupnya hanya mengabdi pada agama, kemudian golongan kesatria yang hidupnya mengabdi pada negara dan tidak boleh memiliki kekayaan, selanjutnya golongan waisya adalah para petani yang memiliki harta benda, strata dibawahnya adalah sudra yaitu para saudagar atau penguasa.

Golongan selanjutnya adalah candela yaitu nelayan dan pedagang hewan. Strata social dibawahnya adalah golongan mleca yaitu orang asing, kemudian strata terendah adalah golongan tuca yaitu para penjahat dan koruptor.

Konstelasi strata social tersebut, merefleksikan penghargaan terhadap status sosial seseorang, didasarkan oleh kemampuannya menjauhi nafsu duniawi dan materi. Oleh sebab itu semakin melimpah harta yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah status sosialnya.

Derasnya arus modernisasi yang dikemas dalam formula nilai-nilai barat, secara simultan meracuni etika moral masyarakat Indonesia. Fenomena modernisasi dengan kemasan nilai barat, berdampak terhadap melemahnya daya tahan budaya bangsa Indonesia, akibat kurangnya keperdulian negara terhadap eksistensi nilai-nilai tradisional.

Akibat penetrasi budaya barat yang dikemas dalam format modernisasi, masuk dari segala arah, mulai dari media massa, makanan, gaya pakaian, film dan medsos serta teknologi dan pendidikan, telah menyisihkan peran sentral budaya dan nilai tradisional sebagai platform interaksi sosial dan terbentuknya prilaku gaya hidup yang individualistik, hedonis dan materialistic oriented.

Tanpa disadari bangsa ini telah terjebak, dalam perangkap budaya yang sama sekali tidak mengakar pada nilai-nilai tradisional. Hari ini kondisi bangsa ini jika dianalogikan seperti “seseorang yang telah membuka bajunya, tapi ternyata tidak disiapkan baju penggantinya, akhirnya orang tersebut telanjang”.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika kita telanjang, paling tidak mudah masuk penyakit dan tidak tertutup kemungkinan dianggap ODGJ. Realitas yang dihadapi bangsa ini adalah, terciptanya berhala baru yang menjadi sesembahan yaitu materialistik.

Tidak dapat dipungkiri, limbah dari budaya baru yang tidak memiliki akar nilai tradisional, telah memicu maraknya mega korupsi di Indonesia yang berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara gagal, karena para pemangku kebijakan lebih mencintai uang dan kemewahan ketimbang kepada Tuhan.

Mereka menganggap pangkat, jabatan dan harta dapat mendinginkan api neraka. Sementara nilai-nilai budi pekerti, sebagai mahakarya warisan leluhur yang mengajarkan bangsa ini sopan santun, rasa malu, gotong royong, silih asah silih asuh, telah teronggok disudut sudut gubuk kumuh. Jadi apa bedanya era reformasi yang kita agungkan dengan era jahiliah, dimana terminology bersih itu adalah karena belum tertangkap.

Sri Radjasa MBA
-Pemerhati Intelijen

Berita Terbaru

Krikil dalam Sepatu Damai Aceh

18 June 2025 - 23:02 WIB

Perang Iran-Israel Picu Perang Dunia Ketiga?

18 June 2025 - 09:50 WIB

Kemiskinan yang Dimiskinkan

17 June 2025 - 21:43 WIB

Warga beraktivitas di bantaran kali Ciliwung Manggarai, Jakarta, 25 April 2025. (Foto: Tempo/Tony Hartawan)

Pak Prabowo, Dengarlah Suara Rakyat

16 June 2025 - 09:09 WIB

Jokowi & Agen CIA

14 June 2025 - 23:58 WIB

Sri Radjasa MBA (Pemerhati Intelijen).
Populer Berita Opini