Jakarta, Indonesiawatch.id – Demokrasi di Indonesia hanya sebatas sebuah kosmetika politik, demi menjaga citra kekuasaan politik, agar dipandang santun dalam kehidupan berbangsa bernegara. Kontradiksi terjadi dalam kehidupan politik nasional.
Ketika para politisi koar-koar, menghimbau rakyat untuk patuh pada nilai demokrasi, sementara partai politik dijalankan dengan cara-cara otoriter. Partai politik tidak lebih sebagai perusahaan keluarga, pimpinan partai politik selalu dipegang oleh owner.
Kemudian Pemilu dibuat dengan aturan ambang batas dukungan 20% partai politik, untuk mencalonkan diri dalam Pilpres, menjadikan ongkos politik semakin mahal dan membuka peluang masuknya oligarki dalam perebutan kekuasaan politik serta berjamurnya dinasti politik.
Pilpres dan Pilkada yang baru saja selesai digelar, penuh dengan carut marut pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait Pemilu dan Pilkada. Paling menonjol adalah praktek cawe-cawe pejabat tinggi negara hingga Presiden, kecurangan oleh KPU, sandera politik, politik uang dan bentuk intimidasi terselubung dari aparat hukum.
Potret Pemilu dan Pilkada 2024 yang semakin jauh dari ideal, menjadi bukti merosotnya kualitas demokrasi dan harapan rakyat untuk mendapat pemimpin yang amanah, semakin jauh panggang dari api.
Pemilu dan Pilkada 2024, hanya menjadi alat “legitimasi” para politisi dan oligarki, untuk mempertahankan kekuasaan. Sementara rakyat selalu ditempatkan sebagai “objek politik”, tanpa dapat menikmati kebahagiaan dari pesta demokrasi.
Pemilu dan Pilkada 2024 telah usai, para pemenang mulai menghitung-hitung konsesi yang harus diberikan kepada oligarki dan cukong politik, tidak lagi terlintas memikirkan derita rakyat. Nasib rakyat tetap tidak beranjak dari garis kemiskinan.
Betapa liciknya para pemangku kekuasaan, setelah terpenuhinya kebutuhan dukungan suara untuk merebut kekuasaan, tanpa risih kemudian menaikan PPN 12%, dengan alasan yang tidak rasional, untuk menyehatkan APBN.