Teheran, Indonesiawatch.id – Tokoh reformis Masoud Pezeshkian secara sah terpilih sebagai presiden baru Iran, mengalahkan rivalnya yang konservatif, Saeed Jalili di pemilihan presiden Iran.
BBC News mengabarkan, Pezeshkian secara meyakinkan memenangi pemilu setelah memeroleh 53,3% suara dari lebih dari 30 juta suara yang dihitung. Sementara, Jalili mengantongi suara sebesar 44,3%.
Pemilihan putaran kedua terjadi setelah tidak ada kandidat yang meraih suara mayoritas pada putaran pertama pemilu pada 28 Juni 2024, yang secara historis menunjukkan tingkat partisipasi pemilih yang rendah, yaitu 40%.
Pezeshkian merupakan anggota parlemen veteran sekaligus mantan menteri kesehatan Iran. Sementara, Jalili merupakan mantan negosiator nuklir terkemuka sekaligus Kepala Badan Keamanan Tertinggi Iran.
Keduanya berhadapan dalam pemilihan setelah presiden Iran sebelumnya, Ebrahim Raisi, tewas dalam kecelakaan helikopter pada Mei, yang menewaskan tujuh orang lainnya.
Sejumlah pemimpin dunia dari Tiongkok, India dan Rusia mengucapkan selamat kepada Pezeshkian atas kemenangannya.
Bahkan sebelum hasil akhir diumumkan oleh Kementerian Dalam Negeri Iran, para pendukung Pezeshkian turun ke jalan dan membanjiri Teheran dan sejumlah kota lain untuk merayakannya.
Video yang diposting di media sosial menunjukkan sebagian besar anak muda menari dan mengibarkan bendera hijau khas kampanyenya. Sementara, mobil yang lewat membunyikan klakson.
Dr. Pezeshkian, seorang ahli bedah jantung berusia 71 tahun itu mengkritik kebijakan moralitas Iran yang terkenal buruk dan menjanjikan kampanye “persatuan dan kohesi” serta mengakhiri “isolasi” Iran dari dunia.
Ia juga menyerukan negosiasi konstruktif dengan negara-negara Barat mengenai pembaruan perjanjian nuklir tahun 2015—yang gagal—di mana Iran setuju mengekang program nuklirnya dengan imbalan pelonggaran sanksi Barat.
Saingannya, Saeed Jalili, lebih menyukai status quo. Mantan negosiator nuklir ini mendapat dukungan kuat dari komunitas paling religius di Iran. Jalili dikenal karena sikap garis kerasnya yang anti-Barat dan penolakannya terhadap pemulihan perjanjian nuklir.
Jumlah pemilih yang berpartisipasi dalam pemilu putaran terakhir adalah 50% lebih tinggi dibandingkan putaran pertama. Persentase pemilih merupakan yang terendah sejak revolusi Islam pada 1979 di tengah meluasnya ketidakpuasan terhadap pemerintah.
Setelah kerusuhan sipil yang berpuncak pada protes anti-rezim yang mengguncang negara itu pada 2022-2023, banyak generasi muda dan kelas menengah Iran sangat tidak mempercayai pemerintah dan sebagiannya menolak untuk memilih.
Namun, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menolak anggapan bahwa rendahnya jumlah pemilih mewakili penolakan terhadap pemerintahannya.
“Ada alasan [di balik rendahnya jumlah pemilih] dan politisi serta sosiolog akan mengkajinya. Namun, jika ada yang berpikir bahwa mereka yang tidak memilih menentang pemerintah, mereka jelas salah,” kata Ali Khamenei.
Khamenei mengakui sejumlah warga Iran memang cukup kritis dan tidak menerima rezim saat ini. “Kami mendengarkan mereka dan kami tahu apa yang mereka katakan dan ini bukan berarti mereka disembunyikan dan tidak terlihat,” ujar Khamenei.
[red]