Upaya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, dimulai dari akar rumput dengan pendekatan kemanusiaan. Agen intelijen TNI dan pasukan GAM juga manusia.
Jakarta, Indonesiawatch.id – Ketika bertugas di Panton Labu Provinsi Aceh sebagai agen intelijen TNI, Sri Radjasa Chandra (SRC) tinggal sementara di sebuah rumah. Saat itu tahun 1998, SRC sering melihat wanita berumur mendatangani rumah tempat tinggalnya. Rutin.
Setiap datang, perempuan tua itu selalu menjinjing kantong plastik besar. Bingkisan itu diserahkan ke istri pemilik rumah, tempat SRC tinggal.
Beberapa lama kemudian, SRC tidak lagi melihat ibu tua tadi datang. SRC berinisiatif menanyakan alasan ibu tua itu tidak datang lagi. Lalu istri pemilik rumah mengatakan bahwa ibu tua tersebut sedang sakit.
SRC bergegas mendatangi ibu tua itu dan membawanya ke Rumah Sakit Korem di Lhokseumawe. Setelah diperiksa, pihak dokter mengatakan bahwa Si Ibu Tua tidak perlu dirawat inap. Ibu Tua pun bisa pulang ke Panton Labu kembali.
Karena peristiwa itu, SRC semakin akrab dengan ibu tersebut, yang sering membawa plastik bingkisan itu. Belakangan setelah SRC tidak lagi tinggal di rumah tadi, komunikasinya dengan ibu tua tersebut terputus.
Di tahun 2005, setelah GAM dan Pemerintah Indonesia berdamai, SRC barulah tahu bahwa ibu tua yang diantarnya ke Rumah sakit Korem Lhokseumawe tadi adalah ibu kandung Panglima GAM Muzakir Manaf (Mualem). Yang saat itu orang paling dicari militer Indonesia.
Sementara itu, bungkusan plastik yang selalu dibawa ibu tua dan diserahkan ke istrik pemilik rumah adalah pakaian untuk Muzakir. Saat itu Muzakir Manaf dan pasukannya banyak tinggal di hutan.
“Pemilik rumah pandai sekali menjaga rahasia. Saya tidak tahu perempuan yang saya bantu itu punya anak dengan jabatan nomor satu di jajaran militer GAM. Intel juga manusia,” tulisnya dalam buku berjudul, Intel Juga Manusia.