Jakarta, Indonesiawatch.id – Pemilih Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 sebentar lagi. Berdasarkan survei Populix kepada 1.070 responden, mayoritas responden lebih memilih calon kepala daerah berusia 53 – 55 tahun.
Manajer Riset Sosial Populix, Nazmi Haddyat Tamara mengatakan, kesimpulan ini diperoleh dengan mengajukan 4 pertanyaan kepada responden. Pertanyaan tersebut mencakup berapa usia calon pemimpin yang dinilai terlalu muda, muda, tua dan terlalu tua dalam pandangan responden.
Jawaban dianalisis dengan mengadopsi pendekatan model dan analisis PSM (Price Sensitivity Meter) yang kerap digunakan dalam penelitian pasar. Hasilnya, responden menilai usia di bawah 35 tahun dianggap terlalu muda dan mereka cenderung tidak akan memilihnya.
Sedangkan calon kepala daerah usia 35 sampai 50 tahun umumnya dinilai masuk kategori usia muda yang akan dipertimbangkan untuk dipilih. Usia 55-70 tahun dinilai termasuk kandidat dengan usia tua yang akan dipertimbangkan untuk dipilih.
Sementara usia di atas 72 tahun dinilai terlalu tua dan juga cenderung tidak akan dipilih. Usia ideal tersebut merupakan rata-rata jawaban kategori usia terlalu muda, muda ideal, tua ideal, dan terlalu tua.
Pada Pilkada nanti, berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) terbaru, batas usia calon kepala daerah berusia paling rendah 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun tingkat kota/kabupaten. Putusan MA mengubah batas usia tadi dari terhitung sejak penetapan pasangan calon pada 22 September 2024, menjadi terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih" atau pada 1 Januari 2025.
80% Masyarakat Memilih Calon Kepala Daerah karena Kesamaan Agama
Mayoritas pemilih (80%) menganggap kesamaan agama sebagai faktor terpenting dalam memilih pemimpin daerah. Berdasarkan survei Populix, responden beralasan keyakinan agama sering kali menjadi fondasi moral dan etika yang mempengaruhi keputusan pemimpin.
“Dalam survei ini, preferensi masyarakat terhadap pilihan pemimpin daerah paling besar dipengaruhi oleh tokoh agama (71%), presiden (70%), dan kepala keluarga (70%). Hal ini menunjukkan kompleksitas dinamika politik lokal yang dipengaruhi oleh figur nasional, figur agamawan, serta keluarga,” tutur Nazmi.
[red]